Senin, 18 Oktober 2021

studi agama-agama di indonesia_ilmu perbandingan agama

ILMU PERBANDINGAN AGAMA
PENDEKATAN STUDI ILMIAH TERHADAP AGAMA-AGAMA

Dosen Pengampu : Drs. I Ketut Indrayasa, M.Pd.H
     IHD
 









IHDN Denpasar



Jurusan Pendidikan Agama Hindu
Fakultas Dharma Acarya
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
2012



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Seiring berkembangnya zaman, banyak sekali kajian–kajian penelitian ilmiah mengenai berbagai permasalahan studi agama. Bahkan, menetapkan makna agama tidak kalah sulitnya dengan kajian ilmiah lainnya. Banyak sekali tulisan tentang bidang ini karena manusia sangat memperhatikan masalah ini, yang pada dasarnya bersifat kontroversial. Seringkali tulisan agama dipandang sebagai respon manusia terhadap kekuatan alam yang besar dan tidak dapat dikontrol, seperti ‘’penyakit bahasa’’, munculnya ketakutan dan dorongan terhadap keamanan.
Ketika kegiatan penelitian terhadap agama mulai digalakkan sekitar tahun 1970-an, banyak yang mempertanyakan, ‘’agama kok diteliti?’’ Bagi mereka, agama sudah pasti benar karena ia kebenaran wahyu dari Tuhan, sedangkan penelitian dipahami sebagai ketidakpercayaan terhadap kebenaran itu. Pemahaman semacam ini dapat dimengerti karena pengertian tentang agama dan penelitian waktu itu memang masih demikian di masyarakat umum. Barangkali, pengertian semacam itu masih berlangsung hingga saat ini di sebagian masyarakat.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu,
1.      Apa tujuan dari mempelajari Studi Ilmiah terhadap Agama ?
2.      Mengapa mempelajari Sejarah Agama-agama sangat diperlukan ?
3.      Pokok-pokok apa saja yang terdapat dalam kandungan Agama-agama dunia ?


1.3. Tujuan
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu,
1.      Untuk mengetahui jenis-jenis pendekatan dalam Studi Ilmiah terhadap Agama.
2.      Untuk mengetahui sejarah dari masing-masing Agama.
3.      Untuk mengetahui hal pokok yang terkadung dalam Agama-agama dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
Agama adalah keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, ajaran atau kepercayaan yang mempercayai satu atau beberapa kekuatan ghaib yang mengatur dan menguasai alam, manusia dan jalan hidupnya.
Menurut Elizabet K. Nottingham dalam bukunya Agama dan Masyarakat, berpendapat  bahwa agama adalah: gejala yang begitu sering terdapat di mana-mana sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abtraksi ilmiah.
Adapun menurut Harun Nasution agama adalah ; 1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia, 2. Pengakuan terhadap  adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia, 3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia, 4.  Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu, 5. Suatu sistem tingkah laku ( code of conduct ) yang berasal dari kekuatan gaib, 6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib, 7.  Pemujaan pada sumber kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.

2.2  Studi Ilmiah terhadap Agama 
Kalau dibandingkan dengan generasi-generasi terdahulu , orang sekarang mengetahui agama lebih banyak.Akan tetapi,orang tidak dapat lari dari pengaruh mereka ketika berpikir tentang agama,karena mereka telah menata kerangka pemikiran teoritik yang telah diterapkannya.Pada umumnya studi ilmiah sosiologis atau cultural terhadap agama dapat dibedakan menjadi lima bentuk pendekatan dasar, yaitu (1) Pendekatan historis , (2) pendekatan psikologi, (3) pendekatan sosiologis, (4) pendekatan fenomenologis, dan (5)pendekatan structural.Belakangan ini selain lima pendekatan itu masih ada juga pendekatan yang lain yaitu filosofis dan pendekatan teologis.
2.2.1 Pendekatan Historis
            Hampir semua studi terhadap agama-agama mengisyarakan adanya beberapa pengetahuan tentang sejarah.Maka pendekatan sejarah untuk mengkaji agama tidaklah unik atau khas dalam perhatiannya terhadap ketelitian atau terhadap sejarah suatu agama.Ia adalah khas karena anggapan dasar,bahwa jika seseorang ingin memahami atau menjelaskan agama ,orang itu harus tahu asal-usulnya.Artinya agama dapat dijumpai dalam sejarahnya dan tugas besar dalam pendekatan ini (historis) adalah mengikuti mengikuti jejak tradisi agama kembali pada asalnya.Studi tentang asal-usul agama telah mencapai puncaknya dengan lahirnya Teori evolusi dan Teori antropologi yang terdapat dalam karya-karya para sarjana besar.seperti:Tylor,Muller,Frazer,Sehmidt,dan studi terhadap agama-agama menjadi identik dengan studi tentang evolusi kemanusian.
            Bagi Tylor,sejarah agama adalah rekor dari perkembangan rasionalitas. Agama dapat dapat dikembalikan kepada asal-usulnya,yaitu animisme, sebagai tingkatan terendah dari perkembangan agama atau tingkatan pertama dari agama.menurut Tylor ,agama berkembang melalui beberapa tingkatan mulai dari; (1)animisme ke(2) naturisme, terus ke(3) politheisme langsung ke(4) monotheisme dan (5) metafisik. Masing-masing urutan tingkat semakin rasional dan semakin abstrak,dan tingkat paling akhir/tinggi mencapai puncaknya pada ilmu dan etika Barat.
            Bagaimanapun pendekatan sejarah tidak perlu terhadap tingkatan-tingkatan evolusi agama itu.Apa yang dia terima adalah bahwa sekali orang telah mengikuti sejarah suatu agama ,orang itu berarti telah menjelaskannya. Problem dasar dari pendekatan ini adalah suatu penjelasan tentang sebuah agama tidak akan pernah sempurna dan berakhir. Selalu ada hari esok yang bisa membawa perubahan,dan usaha merujukan kembali agama ke aslinya akan selalu bersifat rabaan. Pendekatan sejarah juga dipakai untuk meneliti dan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan mitos dan kepercayaan-kepercayaan agama-agama besar,seperti mitos atau cerita tentang Buddha , yesus,musa,dianalisa dengan memperhatikan muatan sejarahnya. Diasumsikan bahwa berbagai mitos itu menunjuk pada peristiwa-peristiwa atau pribadi-pribadi dalam sejarah yang benar-benar eksis,sebab tanpa terdapat basis dalam sejarah maka cerita-cerita itu tidak lain hanya akan bersifat fiksi atau khayal belaka.Untuk menyempurnakan pendekatan sejarah ,maka metode-metode archeologis,philologist,hermeneutic,menjadi sangat penting, disamping perbandingan, antropologi, etnografis,dan fenomenologi sendiri.

2.2.2 Pendekatan Psikologis
            Hampir semua teori psikologi mulai dari anggapan bahwa agama adalah sebuah proyeksi dari adanya konflik di bawah sadar atau ketidaksadaran otak manusia.Pandangan Freud tentang agama masih merupakan dasar dari pendekatan ini .Setelah mengembangkan teorinya ,Oedipal Complex ,atau Oedipus Complex,sebagai aspek terpenting dari perkembangan pribadi seseorang,Freud menganalisa asal-usul agama dengan menggunakan teori ini .Uraian psikologis tentang agama biasanya mencari kepercayaan agama itu dan juga praktek-prakteknya yang berasal dari masa kanak-kanak.Persamaan antara tingkah laku mereka yang mendapat gangguan kejiwaan dengan orang-orang yang menganut kepercayaan,menyebabkan Freud dan pengikutnya mengambil kesimpulan bahwa dua hal tersebut (agama dan gangguan kejiwaan) dapat dijelaskan dengan mekanisme represi yang terjadi pada masa awal kanak-kanak.Psikoanalisis ini diterapkan oleh Freud dalam bukunya “Totem ung Taboo “ Baginya agama adalah gangguan jiwa yang universal dari kemanusiaan (obsessional neurosis).
2.2.3 Pendekatan Sosiologis
            Perbedaan antara pendekatan psikologis dengan pendekatan sosiologis terhadap agama dapat ditemukan dalam asumsi-asumsinya mengenai kehidupan agama itu sendiri. Studi – studi psikologis terhadap agama menekankan fungsi agama sebagai proyeksi simbolis dari komflik kejiwaan atausres kejiwaan yang tidak disadari. Sedangkan dari pandangan sosiologis, agama adalah symbol yang mencerminkan kehidupan social. Rumusan klasik dari pendekatan ini dapat dilihat dalam karya Emile Durkheim yang berjudul “The Elementary Forms Of The Religious Life”. Harus di ingat bahwa semua pendekatan yang dikemukakan ini timbul dari kemunduran yang sangat memperihatinkan dari pendekatan teologi dan metafisik sebagai disiplin-disimpilin yang obyektif. Anggapan-anggapan dasar yang diketengahkan sebagai kesadaran diri oleh para sejarawan,psikolog, dan sosiolog adalah keyakinan positivism yang menganggap bahwa segala yang tidak empiric atau yang tidak bias diamati adalah musthil, karena mereka tidak mempunyai dasar dan bukti untuk membuktikannya.
            Durkheim yakin bahwa sejarah agama bukanlah sejarah yang tanpa makna, palsu, dn khayalan. Agama adalah sebuah manifestasi simbolik dari nasyarakat. Terhadap banyak sekali kenyataan dalam kehidupan social, dan agama tidak bias diteliti terpisah dari kehidupan bersama, karena agama adalah sungguh-sungguh merupakan fenomena social, maka studi agama berarti studi agama berarti studi tentang kenyataan social (pendekatan sosiologis).
2.2.4 Pendekatan fenomenologis
            Salah satu cara untuk memahami fenomenologi agama adalah menganggapnya sebagai reaksi terhadap pendekatan-penekatan sejarah, sosiologi, dan psikologis. Kebanyakan ahli fenomenologi mengangggap semua pendekatan semacam itu sebagai mereduksi agama menjadi semata – mata aspek sejarah, atau aspek social, atau aspek kejiwan. Menurut pendekatan ini agama adalah sebuah ekspresi  simbolik tentang yang suci, maka tugas pendekatan ini adalah mendeskripsikan, mengintegrasikan atau menyusun tipologi dari semua data yang diperoleh dari seluruh agama dunia. Sakral atau suci menurut pandangan ini adalah suatu realitas yang transenden dan metafisik, yang sering juga disebut sebagai Wholly Other,Ultimate Realyti,Absolute, berada diluar waktu dan sejarah Otto, Van der Leeuw,Eliade, dan Kristensen adalah tokoh-tokoh tangguh dalam bidang pendekatan Fenomenologi ini.
2.2.5 Pendekatan Struktural
            Pendekatan struktural adalah usaha paling akhir dalam studi agama. Dibangun atas dasar linguistic, maka senantiasa diindentifikasikan sebagai sebuah cabang dari Semiologi,studi tentang tanda- tanda. Analisis structural adalah analisis system. Tekanannya ditempatkan pada analisa tentang hubungan antara berbagi istilah atau unit-unit tertentu dari system agama. Jadi persoalan yang timbul di sini bukanlah dari mana asal-usul agama itu menurut sejarahnya, atau apa symbol-simbol individual yang dapat dalam masyarakat, atau apakah hakikat yang terdalam dari yang suci, melainkan “apakah oramg dapat menemukan system yang memberikan norma-norma pengatur hubungan berbagai symbol satu samalain dengan makana masing-masing.
            Kesimpulanya yang dapat ditarik dari semua pendekatan ini adalah bahwa setiaporang yang tertarik pada studi agama segera akan terhubung dengan kontroversi tentang apakah agama itu rasional atau nonrasional,prasaan atau ekspresi;apakah kepercayaan keagamaan itu lebih menyerupai ilmu atau musik atau seni. Tidak ada pendekatan-pendekatan yang sudah diuraikan di atas yang telah mengupas persoaalan ini.
Berbagai Teori:
1)      Linear
2)      Siklus
3)      Fusi
4)      Difusi
5)      Warisan
6)      Ciptaan
7)      Sebab-akibat
8)      Kausalitas dan Dialektik
9)      Rasis
10)  Etnografis dan Geografis
11)  Revelasi (Wahyu)
12)  Evolusi
13)  Founded
Klasifikasi :
1)      Rasis
2)      Geografis
3)      Non –wahyu
4)      Ruang dan Waktu,dan
5)      Teologis.

Sejarah Agama:
1.      Umum:
a.       Suatu cabang ilmu agama yang berusaha untuk mempelajari dan mengumpulkan fakta-fakta asasi dari pada agama dengan ukuran-ukuran ilmiah yang lazim.
b.      Berusaha menilai data tarikhi dan berusaha mendapatkan gambaran yang jelas, yang dengan gambaran itu konsepsi-konsepsi tentang pengalaman keagamaan dapat dihargai dan dipahami.
c.       Membicarakan sejarah agama pada umumnya.
2.      Khusus:
a.       Mempelajari apa yang terjadi akibat dari saling persentuhan agama-agama tertentu dalam sejarah manusia (misalnya; manakah pengaruh Babel dan Mesir terhadap Alkitab).
b.      Melakukan pekerjaan persiapan dalam menyelesaikan berbagai pertanyaan umum yang timbul dalam penyelidikan ini, seperti dapatkah orang menemukan sumber jejak suatu agama, apakah agama itu suatu gejala manusiawi yang umum, apakah ada bangsa yang dapat ditunjukkan sebagai bangsa tanpa agama, bagaimana harus dijelaskan gejala bahwa agama-agama tertentu sudah mati, apakah ada semacam urutan derajat agama, dapatkah ditemukan semacam perkembangan dalam pengalaman agama bagi umat manusia, dan sebagainya.   

     2.3. Mempelajari Sejarah Agama-Agama
Joachim Wach menyarankan 7 (tujuh) hal untuk diperhatikan dalam membicarakan dan mengajarkan Sejarah Agama-agama, yaitu: (1) Secara integral, (2) Kompeten, (3) Harus ada hubungannya dengan kenyataan yang ada, (4) Selektif, (5) Seimbang, (6) Imaginatif, serta (7) Menerima dan menetapkan berbagai tingkat pengajaran yang wajar, dan yang lebih penting adalah keadaan, lapangan, dan metode sejarah agama-agama itu sendiri harus kongkrit. Sejarah agama-agama sering dianggap sebagai alat oleh agama-agama missi atau dakwah (agama yang didalamya berusaha menyebarluaskan kebenaran dan mmengajak orang-orang yang belum mempercayainya dianggap sebagai tugas suci oleh pendirinya atau oleh para penggantinya dan juga oleh pengikut-pengikutnya).
Lepas mengenai kontroversi mengenai masalah tersebut, maka yang penting dapat diketahui bahwa kegunaan hasil-hasil studi Sejarah Agama-agama anatara lain adalah:
1.      Dapat mengetahui tentang kekayaan agama-agama yang sangat mengagumkan itu. Atas dasar kekaguman ini, ahli-ahli agama telah menghasilkan karya-karya besar mereka tentang ilmu agama.
2.      Timbul rasa hormat terhadap agama-agama lain.
3.      Lahirnya kesadaran akan sia-sianya hidup penuh polemik dimasa-masa yang lalu antara pemeluk agama yang berbeda atau intern satu agama.
4.      Menggantikan akal saling curiga yang telah terujam selama ini, maka penelitian Sejarah Agama-agama yang menemukan kembali setahap demi setahap adanya hubungan yang erat antara berbagai agama yang berbeda.
5.      Pandangan ini  sampai pada cita-cita tentang kesatuan atau satunya agama.

2.4. Kandungan Agama-agama Dunia
Menurut Sejarah Agama-agama, terdapat 7 (tujuh) hal pokok yang semua agama memilikinya, yaitu:
1.      Adanya Realitas yang transenden, Yang Maha Suci, Tuhan atau nama lain. Dia adalah Realitas dari Realitas yang ada (satyasa satyam), Esa tiada tandingannya (ekam advityam) dalam upanisad; Al-haq dalam tasauf islam; Tao dalam agama Cina lama; Rtam bagi agama India lama; Logos bagi Yunani kuno, dan sebagainya. Realitas yang transenden itu tetap dipersonifikasikan sebagai: SHWH, Varuna, Ahura Mazda, Vishnu, Krishna, Budhha , Kali, Kwan Yin, dan juga dipanggil father, ibu, teman, dan sebagainya.
2.      Realitas yang transenden itu adalah immanen dilubuk hati manusia, bersemayam dalam jiwa manusia. Jiwa manusia menjadi biara tempat Roh Tuhan berada.
3.      Realitas itu bagi manusia adalah kebaikan tertinggi, kebenaran tertinggi, maha tinggi, maha indah, summum bonum kata mistik Neo-Platonis.
4.      Realitas Ketuhanan ini adalah cinta sejati yang mewujudkan dirinya dalam manusia dan pada manusia.
5.      Jalan manusia menuju Tuhan adalah Universal, yaitu korban dan sembahyang. Jalan keselamatan ini dimanapun juga dimulai dengan menyerahkan diri, etik disiplin diri sendiri dan asketik (bertapa).
6.      Semua agama besar mengajarkan tidak saja jalan menuju Tuhan, tetapi dalam waktu yang sama juga mengajarkan cara bertetangga dan bermasyarakat, serta menjaga lingkungan.
7.      Cinta adalah jalan yang paling tinggi menuju Tuhan.

2.5. Eksklusif dan Toleran
            Arnold Tyonbee (1956) menulis buku dengan judul “An Historians’s Approach to Religion”, buku ini merupakan sebuah wahyu, yakni: Yahudi, Masehi, dan Islam mempunyai kecendrungan ke arah exclusivism dan intolerance. Masing-masing menganggap dirinya sebagai pemilik kebenaran yang absolut. Ketiga agama terutama Kristen, begitu bersifat eksklusif, sehingga menganggap dirinya sebagai pemilik satu-satunya yang selamat.
            Penganut agama lain adalah dosa, berasal dari kesehatan dan berada dalam keadaan celaka. Dalam sejarah Kristen, Justin sebagai seorang filsuf Kristen abad ke-2 mengatakan bahwa semua yang percaya pada Tuhan, kekekalan akan alam semesta adalah Kristen, termasuk mereka yang menganggap dewa-dewa itu tidak ada, seperti Sokrates dan Heraklitas. Tokoh lain, Origen mengatakan disamping percaya bahwa Tuhan mengutus Nabi kepada semua bangsa sepanjang waktu, juga menganjurkan pengikutnya untuk melakukan ibadah penyembah berhala. Tokoh-tokoh kebatinan abad ke-16 , seperti Sebastian Franck mengatakan bahwa Tuhan telah berbicara begitu lebih jelas bersama penyembah berhala seperti Plato dan Plotinus dari pada dengan Musa.
            Sedangkan agama-agama yang muncul di India berbeda dengan pandangan agama-agama tersebut di atas, yang menganggap agama-agama lain sebagai manifestasi lain dari eksistansi agama mereka. Agama-agama ini penuh toleransi. Raj Asoka yang hidup 250 dalam sejarah agama Buddha, bukan saja menganjurkan toleransi, melinkan juga mempelopori mencintai agama lain. Pandangan toleransi yang berlebihan dapat menjurus ke arah sinkretisme, menganggap semua agama sama saja. Perumpamaan “orang buta meraba gajah”, “orang mendaki gunung menuju puncaknya”, dan”sungai semua mengalir ke laut” adalah ekspresi dari sinkritisme ini. islam tidak menghendaki sinkritisme, yang dianjurkan adalah toleransi, saling hormat-menghormati, agree in disagreement.
2.6. Beberapa Kritik
            Banyak ahli filsafat, teologi dan sosial yang meragukan dan menolak integritas Sejarah Agama-Agama sebagai suatu disiplin akademik. Mereka memberi kritik pada ilmu ini (sejarah agama-agama, religionswissenschaft) dalam empat macam kritik yaitu :
1.      Beberapa diantaranya menyatakan ,bahwa sejarawan-sejarawan agama itu sebenarnya adalah filsuf-filsuf agama, atau setidak-tidaknya akan menjurus ke situ, walaupun kenyataanya belum.
2.      Pendekatan yang dikatakan objektif dalam sejarah agama-agama itu sebetulnya belum cukup objektif, sesuai dengan keadaan subjektifnya.
3.      Sejarah Agama-agama tidak begitu sungguh-sungguh memperhatikan aspek-aspek khusus dari masing-masing agama yang sangat multi dimensi itu.
4.      Dikhawatirkan bahwa peneliti-peneliti sejarah agama tidak bisa bersikap ilmiah, betul-betul dalam studi mereka, karena mereka sangat mungkin tetap terpengaruh oleh latarbelakang agama dan kebudayaanya sendiri-sendiri. Kalau hal ini terjadi, maka yang muncul hanyalah apologi agama.










BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Agama adalah keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, ajaran atau kepercayaan yang mempercayai satu atau beberapa kekuatan ghaib yang mengatur dan menguasai alam, manusia dan jalan hidupnya. Kalau dibandingkan dengan generasi-generasi terdahulu , orang sekarang mengetahui agama lebih banyak.Akan tetapi,orang tidak dapat lari dari pengaruh mereka ketika berpikir tentang agama,karena mereka telah menata kerangka pemikiran teoritik yang telah diterapkannya.Pada umumnya studi ilmiah sosiologis atau cultural terhadap agama dapat dibedakan menjadi lima bentuk pendekatan dasar, yaitu (1) Pendekatan historis , (2) pendekatan psikologi, (3) pendekatan sosiologis, (4) pendekatan fenomenologis, dan (5)pendekatan structural.Belakangan ini selain lima pendekatan itu masih ada juga pendekatan yang lain yaitu filosofis dan pendekatan teologis.


3.2  Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan dalam makalah ini, agar para pembaca dapat memberikan kontribusinya berupa kritikan dan saran yang membangun. Selain itu di harapkan kedepannya kita selaku umat hendaknya mau mempelajari hal yang terkait pandangan-pandangan dari setiap agama di dunia.


      


Kamis, 12 Desember 2013

siva siddantha (SEKTE-SEKTE)

TUGAS UTS
SIVA SIDDHANTA
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, S. Pd. H




IHDN DENPASAR

Oleh :


NAMA                 : I Gede Adnyana
NIM                     : 10.1.1.1.1.3822   
NO.  ABSEN       : 05



Jurusan Pendidikan Agama Hindu
Fakultas Dharma Acarya
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
2012

TUGAS UTS SIVA SIDDHANTA
1.      Jelaskan proses penyebaran Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali !
Jawaban:
Proses penyebaran Siva Siddhanta dari India sampai di Bali adalah di awali dengan datangnya bangsa Arya dari indo jerman 5000 SM di hulu sungai Sindhu yaitu di Punjab dan sebagian berada di Iran, Bangsa Dravida telah mengenal ajaran siva dengan cirri- ciri seperti bentuk dewa siva sehingga identik dengan Sivaisme yang tinggal di Tambil Nadu. Bangsa arya identik dengan Waisnawa karena sifat kepahlawanannya, Di Indonesia  Siva Siddhanta datang pada abad ke-4 M di Kutai di bawa oleh Rsi Agastya dari Banares India. Terdapat 7 yupa dengan huruf sansekerta. Jawa barat tahun 400-500 M terdapat kerajaan Tarumanegara rajanya Purnawarman, terdapat 7 prasasti disebur kebon kopi, jawa tengah terdapat kerajaan Kalingga. Di Bali ajaran Siva Siddhanta Dengan demikian pada abad ke 8, Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai di tulisnya sebuah parasati tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam dan di yakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya jaran agama di anut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu hinduisme ( serta siva siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad k2-8 Masehi.
 Bukti lain yang merupakan awal penyebaran hinduisme di Bali adalah di temukannya arca Siva di pura Putra bhatara  Desa didesa Bedahulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari Candi Dieng yang berasal dari abad ke 8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.

2.      Sebutkan dan jelaskan Sekte – sekte yang ada pada siva siddhanta.
Jawaban.
Sekte – sekte yang ada di pada Siva Siddhanta yaitu : 
1.      Sekte Pasupata merupakan sekte pemujaan terhadap dewa Siva, cara pemujaan pada sekte pasupata yaitu dengan menggunakan lingga sebagai symbol tempat turunnya atau berstananya Dewa Siva. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang di buat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang di buat sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.
2.      Sekte Waisnawa merupakan sekte pemujaan di bali terhadap Dewi Sri. Yang di pandang sebagai pemberi Rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri di pandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yaitu dengan berkembangnya warga Rsi Pujangga.
3.      Sekte Bodha dan Sogatha di buktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mantra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan di dalam stupika.
4.      Sekte Brahmana, di india sekte Brahmana di sebut Smarta,tetapi sebutan Smarta tidak terkenal di Bali
5.      Sekte Sora merupakan Sekte pemujaan terhadap dewa Matahari yang disebut dengan Suryasewana yang di lakukan pada saat matahari terbit dan matahari terbenam menjadi cirri-ciri penganut sekte Sora.
6.      Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja dewa Ganesa, di bali di buktikan banyak di temukannya arca Ganesa baik dalam bentuk besar maupun kecil.
7.      Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa utama, pemujaan tehadap Dewi Durga di lakukan di pura Dalem yang ada di desa pkraman di Bali.

3.      Jelaskan bentuk Kristalisasi Siva Siddhanta di Bali !
Jawaban.
 Agama Hindu di Indonesia benar beragam menurut local genius setempat. Bagaikan bola salju yang menggelinding dari puncak Himalaya, dalam perjalanannya memungut apa-apa yang dilewati seperti dedaunan, kerikil, dll., sehingga ketika tiba di akhir gelindingnya, bola salju itu menjadi besar ditempeli berbagai macam benda. Demikian pula Hindu di Nusantara yang awalnya dibawa dari Koromandel (tenggara India) oleh para pedagang di abad ke-4 M kemudian disempurnakan menjadi siwa sidantha oleh Maha Rsi Agastya dari Madya Pradesh India. Di Jawa siwa sidantha berbaur dengan Budha dari sekte Mahayana. Kemudian ketika tiba di Bali Siwa-Bodha itu berbaur lagi dengan sekte Hindu lainnya : Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Brahmana, Resi, Sora, dan Ganapatya.  Hal demikian bisa terjadi karena keyakinan Hindu adalah Sanatana Dharma.
Bentuk dari kristalisasi saiva siddhanta di bali adalah berbentuk Pakraman, pada saat itu Senapati  Kuturan dijabatkan oleh Mpu Rajakrta (kini lebih popular disebut dengan nama Mpu Kuturan ) rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam pemujaan Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.
Sekte-sekte yang pernah ada di Nusantara dan Bali menyatu dalam Siva Siddhanta yaitu :
1)      Brahma            :           Homatraya dan Agenisala;
2)      Waisnawa        :           Danukretih;
3)      Linggayat        :           Pemujaan Lingga;
4)      Ganapatha       :           Pemujaan Gana;
5)      Pasupatha        :           Pemujaan Pasupathi;
6)      Siwa-Sidhanta :           Pemujaan Tripurusa
7)      Tantrayana      :           Pemujaan Durga dan Dewi;
8)      Indra               :           Pemujaan Akasa dan mohon hujan;
9)      Kala                 :           Mengupacarai gunung dan hutan;
10)  Sambhu           :           Mengupacarai jagat
11)  Bayu                :           Pemujaan terhadap kekuatan (pramana);
12)  Saurapatha      :           Pemujaan Surya;
13)  Bauddha         :           Pemujaan Wairocana;
  Sekte-sekte ini mengalami perluluhan atau sinkritis antara yang satu dengan yang lain.
Proses perluluhannya adalah sebagai berikut :
1)      Perluluhan pertama terlihat pada prasasti Canggal tahun 732 di Jawa Tengah dimana Brahma-Wisnu-Siwa dipuja dalam suatu kesatuan vertikal dengan mentokohkan Dewa Siwa sebagai pujaan yang utama.
2)      Perluluhan kedua terlihat pada prasasti Klurak tahun 762 M di Jawa Tengah antara agama Hindu (baca Trimurti) dengan agama Buddha Mahayana. Perluluhan Siwa-Buddha ini makin kuat di Jawa Timur mulai zaman pemerintahan Raja Sendok dan melanjut sampai zaman Singosari dan zaman Majapahit serta sampai ke Bali.
3)      Perluluhan ketiga terjadi secara intensif di Bali dimulai dari periode Mpu  Kuturan di Bali tahun 1039 M,
Dengan tahapan sebagai berikut :
a.       Sekte-sekte agama Siwa (Linggayat, Ganapatha, Pasupatha dan Siwa­ Sidhanta) luluh dan menyatu ke dalam Siwa-Sidhanta.
b.      Sekte-sekte yang lain (selain Bauddha) luluh menjadi satu yaitu : Trimurti yang terdiri dari Brahma-Wisnu-Siwa (Iswara) dalam suatu kesatuan vertikal.
c.       Konsepsi Trimurti di Bali luluh dengan Konsepsi Tripurusa yang merapakan hakekat dan pada ajaran Siwa-Sidhanta dengan menonjolkan Paramasiwa sebagai Sang Hyang Widhi.
d.      Konsepsi Tripurusa seperti tersebut pada butir c, luluh dengan Konsepsi Buddha Mahayana dengan menyamakan Panca Tathagatha dengan Panca Dewata dalam agama Hindu.  Di dalam perluluhan Siwa-Buddha ini, Siwaisme lebih dominan daripada Buddhisme.
e.       Hakekat ajaran sekte-sekte itu semuanya menyatu menjadi satu konsepsi agama Hindu dan ditopang oleh nilai-nilai alam pikiran lokal di Bali yang hidup di masyarakat. Inilah gambaran kehidupan agama Hindu di Bali yang telah berlangsung harmonis secara turun-menurun dalam tatanan masyarakat Hindu di Bali.
f.       Berbeda halnya dengan di India dimana sekte-sekte itu berdiri sendiri dan sulit terjadinya perluluhan antara sekte yang satu dengan sekte yang lain, bahkan pertentangan antar sekte banyak terjadi.

4.      Apakah saudara beragama Hindu? Jelaskan !
Jawaban.
Ya, saya beragama Hindu. Karena saya meyakini kebenaran tentang kaedah-kaedah dari Weda. Weda merupakan sebuah kitab suci agama Hindu dan sekaligus menjadi pedoman dasar yang harus di miliki oleh saya maupun setiap umat hindu lainnya.  Ekam Sat, Viprah Bahudha Vadanti." (Hanya ada satu kebenaran, hanya manusia menjelaskan hal ini dengan cara berbeda). Hindu sesungguhnya adalah kesatuan dalam perbedaan. Mengambil satu subyek secara acak (random) dari kitab suci Hindu akan membingungkan kita. Tapi bila kita duduk dan mempelajarinya semua, kita  akan mampu memahami kebenaran yang sejati dalam semua kitab-kitab suci Hindu itu. Dengan jalan ketekunan dalam meyakini sesuatu, maka seseorang tersebut akan mencapai tujuannya. Begitu pula dengan keyakinan terhadap kebenaran dari Weda itu sendiri. Dengan jalan memahami Weda sudah tentu akan tumbuh suatu keyakinan akan keberadaan Beliau(Tuhan). Namun, bukan hanya memahami teori-teori yang terkandung dalam Weda saja, tetapi perlu juga pengimplementasian ke dalam sebuah praktek ( contohnya pada ajaran Yoga).
 Semua itu merupakan sebuah jalan untuk mencapai Beliau. Seperti yang dikatakan didalam Bagawad Gita (4:11) yaitu, "Jalan manapun yang ditempuh manusia untuk mendekati Aku, dengan jalan itu Aku terima mereka; jalan manapun yang mereka pilih pada akhirnya mereka akan mencapai aku." Dari sloka ini, setiap orang dengan mudah mengerti bahwa agama Hindu tidak memproyeksikan dirinya sebagai satu-satu jalan untuk pengejawantahan Tuhan. Agama Hindu tidak mengklaim monopoli atas kebijaksanaan. Agama Hindu mentoleransi semua bentuk pemikiran. Seorang Yogi Hindu tidak akan pernah mencoba untuk mengkonversi seseorang dari agama lain ke dalam agama Hindu. Sebaliknya ia malah akan mencoba orang tersebut setia kepada agamanya.
Jadi, seseorang yang dikatakan beragama apabila seseorang tersebut memiliki sebuah keyakinan dan mau melaksakana ajaran-ajaran yang terkandung dalam sebuah kitab sucinya untuk mencapai sebuah penyatuan dengan sang pencipta.

5.      Bagaimana anda menyikapi terhadap  adanya sampradaya Krisna dan Sai Baba dalam konsep Siva Siddhanta?
Jawaban.
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa baru pada produk seni di Bali. 
Namun nilai-nilai dasar tersebut bisa saja berubah lebih-lebih dipaksa untuk berubah mengikuti tujuan-tujuan tertentu. Hakikat perubahan akan menggiring sebuah kebudayaan, dimana akan menjadi tantangan tersendiri bagi kehidupan masyarakat hindu di Bali untuk bertahan pada eksistensinya semula. Nilai-nilai dasar serta keadaan manusia ditentukan oleh pemikiran masyarakat itu sendiri. Lingkup pemikiran di masa lalu tentu akan jauh berbeda dengan lingkup pemikiran-pemikiran di jaman ini. Kebudayaan yang terus berubah ini didorong oleh inkulturasi budaya dari luar (adopsi budaya) atau inkulturasi dalam budaya sendiri yang terus menerus mengalami perubahan hingga merubah prinsip dasar yang ada. Hal ini tentu membawa berbagai dampak keadaan yang melahirkan dua segi, bisa berpengaruh positif namun bisa pula berpengaruh negatif. Bagaimana tidak, segala hal memiliki prinsip, tujuan atau maksud yang kemungkinan tidak sama diantaranya, yang mana akan berbenturan hingga menimbulkan berbagai komflik-konflik antar kelompok. Kelompok ini bisa saja melibatkan kelompok yang sama ataupun kelompok berbeda, akibat dari perbedaan-perbedaan pemikiran yang tak mampu bahkan tak mau dipahami lebih lanjut dan mendalam.
Seperti fakta yang ditemukan dalam kalangan masyarakat di desa jagaraga, tumbuh subur dan berkembangnya aliran-aliran kepercayaan (sampradaya) dalam kehidupan di masyarakat akibat prinsip demokrasi yang ada, diantaranya sampradaya Sai Baba, Sri Krsna, Sri Waisnawa. Apabila menoleh kebelakang pada sejarah, bahwa perbedaan aliran-aliran kepercayaan (sekta), pada jaman dahulu telah mampu di redam dan disatukan pada satu konsep dalam wadah yaitu agama hindu.
               Namun kedinamisan peradaban yang tak mampu untuk diredam telah membawa masa lalu kembali terulang pada masa ini walaupun dalam wajah-wajah baru (sampradaya). Muncul dan berkembang kelompok-kelompok (sampradaya dan nonsampradaya) dalam masyarakat yang saling bersinggungan dalam berkompetisi untuk memperebutkan prestasi dan prestise yang pada akhirnya mengarah pada sisi negatif yang berujung pada komplik, krisis kepercayaan, serta disintegrasi dikalangan masyarakat. Akibat riil yang terjadi menciptakan caci maki dan penghujatan-penghujatan antar kelompok itu sendiri, sehingga melupakan jati diri serta dasar tujuan (visi dan misi) sebuah ajaran pada ketentraman serta kesejahteraan penganutnya.
Sampradaya dalam perspektif Agama Hindu :
Lemahnya pemahaman akan keberadaan agama Hindu yang benar, terjadi hampir di semua kalangan umat. Hal ini antara lain menyebabkan kehadiran Sampradaya menjadi masalah. Kalau saja benar cara memahaminya justru keberadaan sampradaya akan menjadikan umat Hindu memiliki banyak pilihan dalam mengamalkan ajaran suci Veda. Dengan demikian tidak ada umat Hindu merasa tertekan kalau pilihan yang ada sekarang ini kurang sesuai dengan tipe atau selera rohaninya. Kesalah pahaman seringkali dikarenakan adanya oknum pengikut sampradaya yang berbuat tidak sesuai dengan norma-norma lingkungannya. Demikian juga umat Hindu yang tradisional, karena kekurang pahaman, menganggap kehadiran sampradaya sebagai ancaman. Padahal umat Hindu tradisional itu pun tergolong sampradaya Siwa Sidhanta, di Bali disebut Siwa Paksa yang memuja Tuhan dengan sebutan Parama Siwa.
            Muncul istilah sampradaya pertama kali ketika umat Hindu Indonesia khususnya dari Bali mulai mengadakan kontak dengan umat Hindu di India dan ketika kontak lebih intensif terjadi ada beberapa umat Hindu Indonesia yang mengikuti salah satu sampradaya yang berkembang di India. Di lain pihak, umat Hindu Indonesia, khususnya di Bali, sebagian khawatir kalau sampradaya ini berkembang dengan dalih akan mengganggu atau merusak tatanan agama Hindu yang sudah ajeg, sebagian yang lain menerima dengan antusias dengan alasan dinamika perkembangan agama Hindu tidak mandeg, mereka merasakan pencerahan sesuai dengan kebutuhan spiritual dewasa ini. Menurut Sivananda Hindu sangatlah universal, bebas, toleren dan luwes. Hindu di dalam ajarannya memiliki bermacam-macam kelompok filsafat dari Wedanta seperti Waisnawisme, Saiwisme, Saktisme dan lain-lain, serta memiliki sejumlah kepercayaan dan aliran. Hindu lebih bersifat gabungan agama dari pada agama tunggal dengan keyakinan yang terbatas. Hindu adalah persahabatan dari keyakinan dan juga suatu gabungan filsafat yang memberikan hidangan guna perenungan bagi para pengikutnya. Para pengikut Sanata Dharma, Arya Samaj, Dewa Samaj, Jaina, Bauddha, Sikh dan Brahma Samaj semuanya adalah orang-orang Hindu, karena mereka berasal dari Hindusme dan menekankan pada satu atau beberapa aspeknya saja. Oleh karena itu Hindu sendiri merupakan gabungan atau percampuran dari berbagai aliran dan keyakinan (sampradaya) bukan merupakan suatu keyakinan tunggal saja.
Sampradaya-sampradaya yang ada di Bali dewasa ini dapat dikatakan suatu sekta baru (baca: lain dari Sekta Siwa Sidanta) jika mempunyai “special set of religious beliefs” yang berbeda dengan Sekta Siwa Sidanta, terutama yang menyangkut Tattwa, Susila, dan Upacara. Indikasi perbedaan-perbedaan perlu didiskusikan dengan teliti dan hati-hati.