Kamis, 12 Desember 2013

siva siddantha (SEKTE-SEKTE)

TUGAS UTS
SIVA SIDDHANTA
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, S. Pd. H




IHDN DENPASAR

Oleh :


NAMA                 : I Gede Adnyana
NIM                     : 10.1.1.1.1.3822   
NO.  ABSEN       : 05



Jurusan Pendidikan Agama Hindu
Fakultas Dharma Acarya
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
2012

TUGAS UTS SIVA SIDDHANTA
1.      Jelaskan proses penyebaran Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali !
Jawaban:
Proses penyebaran Siva Siddhanta dari India sampai di Bali adalah di awali dengan datangnya bangsa Arya dari indo jerman 5000 SM di hulu sungai Sindhu yaitu di Punjab dan sebagian berada di Iran, Bangsa Dravida telah mengenal ajaran siva dengan cirri- ciri seperti bentuk dewa siva sehingga identik dengan Sivaisme yang tinggal di Tambil Nadu. Bangsa arya identik dengan Waisnawa karena sifat kepahlawanannya, Di Indonesia  Siva Siddhanta datang pada abad ke-4 M di Kutai di bawa oleh Rsi Agastya dari Banares India. Terdapat 7 yupa dengan huruf sansekerta. Jawa barat tahun 400-500 M terdapat kerajaan Tarumanegara rajanya Purnawarman, terdapat 7 prasasti disebur kebon kopi, jawa tengah terdapat kerajaan Kalingga. Di Bali ajaran Siva Siddhanta Dengan demikian pada abad ke 8, Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai di tulisnya sebuah parasati tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam dan di yakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya jaran agama di anut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu hinduisme ( serta siva siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad k2-8 Masehi.
 Bukti lain yang merupakan awal penyebaran hinduisme di Bali adalah di temukannya arca Siva di pura Putra bhatara  Desa didesa Bedahulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari Candi Dieng yang berasal dari abad ke 8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.

2.      Sebutkan dan jelaskan Sekte – sekte yang ada pada siva siddhanta.
Jawaban.
Sekte – sekte yang ada di pada Siva Siddhanta yaitu : 
1.      Sekte Pasupata merupakan sekte pemujaan terhadap dewa Siva, cara pemujaan pada sekte pasupata yaitu dengan menggunakan lingga sebagai symbol tempat turunnya atau berstananya Dewa Siva. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang di buat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang di buat sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.
2.      Sekte Waisnawa merupakan sekte pemujaan di bali terhadap Dewi Sri. Yang di pandang sebagai pemberi Rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri di pandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yaitu dengan berkembangnya warga Rsi Pujangga.
3.      Sekte Bodha dan Sogatha di buktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mantra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan di dalam stupika.
4.      Sekte Brahmana, di india sekte Brahmana di sebut Smarta,tetapi sebutan Smarta tidak terkenal di Bali
5.      Sekte Sora merupakan Sekte pemujaan terhadap dewa Matahari yang disebut dengan Suryasewana yang di lakukan pada saat matahari terbit dan matahari terbenam menjadi cirri-ciri penganut sekte Sora.
6.      Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja dewa Ganesa, di bali di buktikan banyak di temukannya arca Ganesa baik dalam bentuk besar maupun kecil.
7.      Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa utama, pemujaan tehadap Dewi Durga di lakukan di pura Dalem yang ada di desa pkraman di Bali.

3.      Jelaskan bentuk Kristalisasi Siva Siddhanta di Bali !
Jawaban.
 Agama Hindu di Indonesia benar beragam menurut local genius setempat. Bagaikan bola salju yang menggelinding dari puncak Himalaya, dalam perjalanannya memungut apa-apa yang dilewati seperti dedaunan, kerikil, dll., sehingga ketika tiba di akhir gelindingnya, bola salju itu menjadi besar ditempeli berbagai macam benda. Demikian pula Hindu di Nusantara yang awalnya dibawa dari Koromandel (tenggara India) oleh para pedagang di abad ke-4 M kemudian disempurnakan menjadi siwa sidantha oleh Maha Rsi Agastya dari Madya Pradesh India. Di Jawa siwa sidantha berbaur dengan Budha dari sekte Mahayana. Kemudian ketika tiba di Bali Siwa-Bodha itu berbaur lagi dengan sekte Hindu lainnya : Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Brahmana, Resi, Sora, dan Ganapatya.  Hal demikian bisa terjadi karena keyakinan Hindu adalah Sanatana Dharma.
Bentuk dari kristalisasi saiva siddhanta di bali adalah berbentuk Pakraman, pada saat itu Senapati  Kuturan dijabatkan oleh Mpu Rajakrta (kini lebih popular disebut dengan nama Mpu Kuturan ) rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam pemujaan Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.
Sekte-sekte yang pernah ada di Nusantara dan Bali menyatu dalam Siva Siddhanta yaitu :
1)      Brahma            :           Homatraya dan Agenisala;
2)      Waisnawa        :           Danukretih;
3)      Linggayat        :           Pemujaan Lingga;
4)      Ganapatha       :           Pemujaan Gana;
5)      Pasupatha        :           Pemujaan Pasupathi;
6)      Siwa-Sidhanta :           Pemujaan Tripurusa
7)      Tantrayana      :           Pemujaan Durga dan Dewi;
8)      Indra               :           Pemujaan Akasa dan mohon hujan;
9)      Kala                 :           Mengupacarai gunung dan hutan;
10)  Sambhu           :           Mengupacarai jagat
11)  Bayu                :           Pemujaan terhadap kekuatan (pramana);
12)  Saurapatha      :           Pemujaan Surya;
13)  Bauddha         :           Pemujaan Wairocana;
  Sekte-sekte ini mengalami perluluhan atau sinkritis antara yang satu dengan yang lain.
Proses perluluhannya adalah sebagai berikut :
1)      Perluluhan pertama terlihat pada prasasti Canggal tahun 732 di Jawa Tengah dimana Brahma-Wisnu-Siwa dipuja dalam suatu kesatuan vertikal dengan mentokohkan Dewa Siwa sebagai pujaan yang utama.
2)      Perluluhan kedua terlihat pada prasasti Klurak tahun 762 M di Jawa Tengah antara agama Hindu (baca Trimurti) dengan agama Buddha Mahayana. Perluluhan Siwa-Buddha ini makin kuat di Jawa Timur mulai zaman pemerintahan Raja Sendok dan melanjut sampai zaman Singosari dan zaman Majapahit serta sampai ke Bali.
3)      Perluluhan ketiga terjadi secara intensif di Bali dimulai dari periode Mpu  Kuturan di Bali tahun 1039 M,
Dengan tahapan sebagai berikut :
a.       Sekte-sekte agama Siwa (Linggayat, Ganapatha, Pasupatha dan Siwa­ Sidhanta) luluh dan menyatu ke dalam Siwa-Sidhanta.
b.      Sekte-sekte yang lain (selain Bauddha) luluh menjadi satu yaitu : Trimurti yang terdiri dari Brahma-Wisnu-Siwa (Iswara) dalam suatu kesatuan vertikal.
c.       Konsepsi Trimurti di Bali luluh dengan Konsepsi Tripurusa yang merapakan hakekat dan pada ajaran Siwa-Sidhanta dengan menonjolkan Paramasiwa sebagai Sang Hyang Widhi.
d.      Konsepsi Tripurusa seperti tersebut pada butir c, luluh dengan Konsepsi Buddha Mahayana dengan menyamakan Panca Tathagatha dengan Panca Dewata dalam agama Hindu.  Di dalam perluluhan Siwa-Buddha ini, Siwaisme lebih dominan daripada Buddhisme.
e.       Hakekat ajaran sekte-sekte itu semuanya menyatu menjadi satu konsepsi agama Hindu dan ditopang oleh nilai-nilai alam pikiran lokal di Bali yang hidup di masyarakat. Inilah gambaran kehidupan agama Hindu di Bali yang telah berlangsung harmonis secara turun-menurun dalam tatanan masyarakat Hindu di Bali.
f.       Berbeda halnya dengan di India dimana sekte-sekte itu berdiri sendiri dan sulit terjadinya perluluhan antara sekte yang satu dengan sekte yang lain, bahkan pertentangan antar sekte banyak terjadi.

4.      Apakah saudara beragama Hindu? Jelaskan !
Jawaban.
Ya, saya beragama Hindu. Karena saya meyakini kebenaran tentang kaedah-kaedah dari Weda. Weda merupakan sebuah kitab suci agama Hindu dan sekaligus menjadi pedoman dasar yang harus di miliki oleh saya maupun setiap umat hindu lainnya.  Ekam Sat, Viprah Bahudha Vadanti." (Hanya ada satu kebenaran, hanya manusia menjelaskan hal ini dengan cara berbeda). Hindu sesungguhnya adalah kesatuan dalam perbedaan. Mengambil satu subyek secara acak (random) dari kitab suci Hindu akan membingungkan kita. Tapi bila kita duduk dan mempelajarinya semua, kita  akan mampu memahami kebenaran yang sejati dalam semua kitab-kitab suci Hindu itu. Dengan jalan ketekunan dalam meyakini sesuatu, maka seseorang tersebut akan mencapai tujuannya. Begitu pula dengan keyakinan terhadap kebenaran dari Weda itu sendiri. Dengan jalan memahami Weda sudah tentu akan tumbuh suatu keyakinan akan keberadaan Beliau(Tuhan). Namun, bukan hanya memahami teori-teori yang terkandung dalam Weda saja, tetapi perlu juga pengimplementasian ke dalam sebuah praktek ( contohnya pada ajaran Yoga).
 Semua itu merupakan sebuah jalan untuk mencapai Beliau. Seperti yang dikatakan didalam Bagawad Gita (4:11) yaitu, "Jalan manapun yang ditempuh manusia untuk mendekati Aku, dengan jalan itu Aku terima mereka; jalan manapun yang mereka pilih pada akhirnya mereka akan mencapai aku." Dari sloka ini, setiap orang dengan mudah mengerti bahwa agama Hindu tidak memproyeksikan dirinya sebagai satu-satu jalan untuk pengejawantahan Tuhan. Agama Hindu tidak mengklaim monopoli atas kebijaksanaan. Agama Hindu mentoleransi semua bentuk pemikiran. Seorang Yogi Hindu tidak akan pernah mencoba untuk mengkonversi seseorang dari agama lain ke dalam agama Hindu. Sebaliknya ia malah akan mencoba orang tersebut setia kepada agamanya.
Jadi, seseorang yang dikatakan beragama apabila seseorang tersebut memiliki sebuah keyakinan dan mau melaksakana ajaran-ajaran yang terkandung dalam sebuah kitab sucinya untuk mencapai sebuah penyatuan dengan sang pencipta.

5.      Bagaimana anda menyikapi terhadap  adanya sampradaya Krisna dan Sai Baba dalam konsep Siva Siddhanta?
Jawaban.
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa baru pada produk seni di Bali. 
Namun nilai-nilai dasar tersebut bisa saja berubah lebih-lebih dipaksa untuk berubah mengikuti tujuan-tujuan tertentu. Hakikat perubahan akan menggiring sebuah kebudayaan, dimana akan menjadi tantangan tersendiri bagi kehidupan masyarakat hindu di Bali untuk bertahan pada eksistensinya semula. Nilai-nilai dasar serta keadaan manusia ditentukan oleh pemikiran masyarakat itu sendiri. Lingkup pemikiran di masa lalu tentu akan jauh berbeda dengan lingkup pemikiran-pemikiran di jaman ini. Kebudayaan yang terus berubah ini didorong oleh inkulturasi budaya dari luar (adopsi budaya) atau inkulturasi dalam budaya sendiri yang terus menerus mengalami perubahan hingga merubah prinsip dasar yang ada. Hal ini tentu membawa berbagai dampak keadaan yang melahirkan dua segi, bisa berpengaruh positif namun bisa pula berpengaruh negatif. Bagaimana tidak, segala hal memiliki prinsip, tujuan atau maksud yang kemungkinan tidak sama diantaranya, yang mana akan berbenturan hingga menimbulkan berbagai komflik-konflik antar kelompok. Kelompok ini bisa saja melibatkan kelompok yang sama ataupun kelompok berbeda, akibat dari perbedaan-perbedaan pemikiran yang tak mampu bahkan tak mau dipahami lebih lanjut dan mendalam.
Seperti fakta yang ditemukan dalam kalangan masyarakat di desa jagaraga, tumbuh subur dan berkembangnya aliran-aliran kepercayaan (sampradaya) dalam kehidupan di masyarakat akibat prinsip demokrasi yang ada, diantaranya sampradaya Sai Baba, Sri Krsna, Sri Waisnawa. Apabila menoleh kebelakang pada sejarah, bahwa perbedaan aliran-aliran kepercayaan (sekta), pada jaman dahulu telah mampu di redam dan disatukan pada satu konsep dalam wadah yaitu agama hindu.
               Namun kedinamisan peradaban yang tak mampu untuk diredam telah membawa masa lalu kembali terulang pada masa ini walaupun dalam wajah-wajah baru (sampradaya). Muncul dan berkembang kelompok-kelompok (sampradaya dan nonsampradaya) dalam masyarakat yang saling bersinggungan dalam berkompetisi untuk memperebutkan prestasi dan prestise yang pada akhirnya mengarah pada sisi negatif yang berujung pada komplik, krisis kepercayaan, serta disintegrasi dikalangan masyarakat. Akibat riil yang terjadi menciptakan caci maki dan penghujatan-penghujatan antar kelompok itu sendiri, sehingga melupakan jati diri serta dasar tujuan (visi dan misi) sebuah ajaran pada ketentraman serta kesejahteraan penganutnya.
Sampradaya dalam perspektif Agama Hindu :
Lemahnya pemahaman akan keberadaan agama Hindu yang benar, terjadi hampir di semua kalangan umat. Hal ini antara lain menyebabkan kehadiran Sampradaya menjadi masalah. Kalau saja benar cara memahaminya justru keberadaan sampradaya akan menjadikan umat Hindu memiliki banyak pilihan dalam mengamalkan ajaran suci Veda. Dengan demikian tidak ada umat Hindu merasa tertekan kalau pilihan yang ada sekarang ini kurang sesuai dengan tipe atau selera rohaninya. Kesalah pahaman seringkali dikarenakan adanya oknum pengikut sampradaya yang berbuat tidak sesuai dengan norma-norma lingkungannya. Demikian juga umat Hindu yang tradisional, karena kekurang pahaman, menganggap kehadiran sampradaya sebagai ancaman. Padahal umat Hindu tradisional itu pun tergolong sampradaya Siwa Sidhanta, di Bali disebut Siwa Paksa yang memuja Tuhan dengan sebutan Parama Siwa.
            Muncul istilah sampradaya pertama kali ketika umat Hindu Indonesia khususnya dari Bali mulai mengadakan kontak dengan umat Hindu di India dan ketika kontak lebih intensif terjadi ada beberapa umat Hindu Indonesia yang mengikuti salah satu sampradaya yang berkembang di India. Di lain pihak, umat Hindu Indonesia, khususnya di Bali, sebagian khawatir kalau sampradaya ini berkembang dengan dalih akan mengganggu atau merusak tatanan agama Hindu yang sudah ajeg, sebagian yang lain menerima dengan antusias dengan alasan dinamika perkembangan agama Hindu tidak mandeg, mereka merasakan pencerahan sesuai dengan kebutuhan spiritual dewasa ini. Menurut Sivananda Hindu sangatlah universal, bebas, toleren dan luwes. Hindu di dalam ajarannya memiliki bermacam-macam kelompok filsafat dari Wedanta seperti Waisnawisme, Saiwisme, Saktisme dan lain-lain, serta memiliki sejumlah kepercayaan dan aliran. Hindu lebih bersifat gabungan agama dari pada agama tunggal dengan keyakinan yang terbatas. Hindu adalah persahabatan dari keyakinan dan juga suatu gabungan filsafat yang memberikan hidangan guna perenungan bagi para pengikutnya. Para pengikut Sanata Dharma, Arya Samaj, Dewa Samaj, Jaina, Bauddha, Sikh dan Brahma Samaj semuanya adalah orang-orang Hindu, karena mereka berasal dari Hindusme dan menekankan pada satu atau beberapa aspeknya saja. Oleh karena itu Hindu sendiri merupakan gabungan atau percampuran dari berbagai aliran dan keyakinan (sampradaya) bukan merupakan suatu keyakinan tunggal saja.
Sampradaya-sampradaya yang ada di Bali dewasa ini dapat dikatakan suatu sekta baru (baca: lain dari Sekta Siwa Sidanta) jika mempunyai “special set of religious beliefs” yang berbeda dengan Sekta Siwa Sidanta, terutama yang menyangkut Tattwa, Susila, dan Upacara. Indikasi perbedaan-perbedaan perlu didiskusikan dengan teliti dan hati-hati.
                                                                                                                                 

Tidak ada komentar: