SIVA SIDDANTHA II
KONSEP PENYATUAN SIVA SIDDANTHA YANG
TERDAPAT PADA DADIA PASEK GELGEL DI
BANJAR SEKAR SARI, DESA SELAT
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan , S.Pd.H
IHDN
Denpasar
Oleh:
I Gede Adnyana (10.1.1.1.1.3822 )
FAKULTAS DHARMA ACARYA
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA
HINDU
INSTITUT
HAINDU DHARMA NEGRI DENPASAR
2012/2013
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Suatu
ciri utama kehidupan dalam ber-Agama Hindu adalah percaya dan bakti kepada Ida
Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan-Nya tidak terbatas
sedangkan kemampuan manusia sangat terbatas.
Manusia
dalam ketidaksempurnaannya selalu ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang
Widhi Wasa agar memperoleh perlindungan dan petunjuk dalam menempuh kehidupan.
Mereka yang memahami pengertian ini menjadi manusia yang mulia karena
senantiasa mengutamakan ke-Tuhanan dalam tatanan kehidupannya.
Dalam
Bhagwadgita dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia berdasarkan yadnya dan
sebagai sumber kehidupan manusia Tuhan menciptakan alam. Oleh karena itu selalu
diupayakan menjaga keharmonisan antara: Tuhan – Manusia – Alam melalui yadnya.
Manusia
yang ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan jalan yadnya
memerlukan sarana antara lain Sanggah Pamrajan. Sanggah berasal dari
Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan
suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan
atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat
pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga
.
II. PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Dan Tattwa
Sanggah/Merajan
Merajan Atau sanggah dalam keluarga
Hindu adalah sebuah tempat suci yang berdasarkan konsep Tri mandala, Tri Angga
atau Tri Hita Karana merupakan sebuah tempat suci untuk
memuja Tuhan dan Juga Roh leluhur. Menurut konsep Tri angga
Mrajan adalah tempat utamanya yang Diibaratkan sebagai Kepala, Rumah keluarga
dianggap sebagai Badan atau bagian madya sedangkan bagian Nista angga
adalah perkebunan atau pekarangan.
Sedangkan menurut konsep Tri Hita Karana mrajan adalah sebuah prahayangan tempat untuk memuja tuhan dan juga roh leluhur menjadi satu. Sebagai satu keselarasan antara orang yang tinggal dan lingkungannya juga diperlukan sebuah tempat untuk melakukan sebuah sinergisme ke atas yang dalam hal ini berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi merajan adalah sebuah tempat suci yang berada disetiap lingkungan keluarga untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga roh leluhur.
Menurut Tatwa atau sejarahnya sanggah/mrajan berawal dari jaman Batu kira – kira 2500 tahun SM hingga 500 SM diamana orang bali saat itu telah memiliki keyakinan atau kepercayaan akan roh leluhur .namun media yang digunakan untuk melakukan pemujaan sangatlah sederhana yaitu sebuah tumpukan batu yang sering disebut Menhir dan juga berbagai macam tugu batu.
Setelah kedatangan agama Hindu ke bali tempat pemujaan di bali diubah sesuai dengan konsep yang di bawa orang – orang suci seperti Rsi Markanyeya, Dang Hyang Siddhimantra dan juga Dang Hyang Nirartha dan juga Empat Putra dari Hyang Gni Jaya Barulah dibuatkan sebuah tempat yang bernama mrajan. Pada tahun 1019 – 1042 Mpu Kuturan datang ke Bali beliaulah yang menyatukan Sembilan sekte yang ada di Bali antara lain Siwa Siddanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Sogata, Brahmana, Rsi, Sora, Surya, Ganapatya menjadi Konsep Tri Murti yaitu sebuah konsep pemujaan kepada Tiga dewa Yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Sama Seperti Candi parambanan yang diperuntukkan untuk memuja Brahma, Wisnu dan Siwa. Wisnu dan Di tengah Dewa Siwa yang sering disebut dengan Tri Purusa Ketika Dang Hyang Nirartha datang ke Bali pada Tahun 1540 membawa konsepTri Purusha yaitu pemujaan Sang Hyang tunggal yaitu berupa Bangunan Padmasana. Dalam Konsep Tri Murti yang terdapat di Prahayangan Jagat dibuatkan tempat suci bernama kahyangan tiga yaitu Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung untuk memuja Siwa, Brahma dan juga Wisnu. Di Mrajan itu sendiri Tri murti dipuja dalam konsep Rong Tiga, Di kanan dilinggihkan Dewa Brahma, Di kiri Dewa
Sedangkan menurut konsep Tri Hita Karana mrajan adalah sebuah prahayangan tempat untuk memuja tuhan dan juga roh leluhur menjadi satu. Sebagai satu keselarasan antara orang yang tinggal dan lingkungannya juga diperlukan sebuah tempat untuk melakukan sebuah sinergisme ke atas yang dalam hal ini berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi merajan adalah sebuah tempat suci yang berada disetiap lingkungan keluarga untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga roh leluhur.
Menurut Tatwa atau sejarahnya sanggah/mrajan berawal dari jaman Batu kira – kira 2500 tahun SM hingga 500 SM diamana orang bali saat itu telah memiliki keyakinan atau kepercayaan akan roh leluhur .namun media yang digunakan untuk melakukan pemujaan sangatlah sederhana yaitu sebuah tumpukan batu yang sering disebut Menhir dan juga berbagai macam tugu batu.
Setelah kedatangan agama Hindu ke bali tempat pemujaan di bali diubah sesuai dengan konsep yang di bawa orang – orang suci seperti Rsi Markanyeya, Dang Hyang Siddhimantra dan juga Dang Hyang Nirartha dan juga Empat Putra dari Hyang Gni Jaya Barulah dibuatkan sebuah tempat yang bernama mrajan. Pada tahun 1019 – 1042 Mpu Kuturan datang ke Bali beliaulah yang menyatukan Sembilan sekte yang ada di Bali antara lain Siwa Siddanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Sogata, Brahmana, Rsi, Sora, Surya, Ganapatya menjadi Konsep Tri Murti yaitu sebuah konsep pemujaan kepada Tiga dewa Yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Sama Seperti Candi parambanan yang diperuntukkan untuk memuja Brahma, Wisnu dan Siwa. Wisnu dan Di tengah Dewa Siwa yang sering disebut dengan Tri Purusa Ketika Dang Hyang Nirartha datang ke Bali pada Tahun 1540 membawa konsepTri Purusha yaitu pemujaan Sang Hyang tunggal yaitu berupa Bangunan Padmasana. Dalam Konsep Tri Murti yang terdapat di Prahayangan Jagat dibuatkan tempat suci bernama kahyangan tiga yaitu Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung untuk memuja Siwa, Brahma dan juga Wisnu. Di Mrajan itu sendiri Tri murti dipuja dalam konsep Rong Tiga, Di kanan dilinggihkan Dewa Brahma, Di kiri Dewa
2.2. Sejarah Berdirinya Sanggah
Pemerajan Pasek Gelgel
Yang melatar belakangi berdirinya
Sanggah Pemerajan Pasek Gelgel yakni karena adanya pawisik dari Hyang Kompiang
atau Leluhur yang ada disana. Sanggah Pamrajan ini berdiri kurang lebih pada
tahun 1950, dengan berdasarkan sebuah pawisik maka disertai dengan musyawarah
mupakat didirikanlah Sanggah Pamrajan itu yang tempatnya terletak di Banjar
Sekar Sari, Desa Selat. Awal mula orang yang nyungsung disana Cuma 5 orang
pengelingsir diantaranya : pengelingsir Mangku Toya, Pengelingsir Pan Sumiara,
Pengelingsir Pan Mudarai, dan Pengelingsir Pan Sabda. Lambat laun berkembang
dan berkembang hingga sekarang menjadi 50
kaka penyungsung.
2.3. Bagian – bagian Pelinggih ring
Sanggah Pamrajan Pasek Gelgel.
Dalam
perkembangannya di Bali semenjak kedatangan Mpu Kuturan semua dari keturunan
tersebut setiap keluarga memiliki sanggah kemulan dan berkembang ke tingkat
yang lebih besar kelompok keturunan (kawitan) tersebut selayaknya memiliki
Sanggah yang lebih besar/Pamerajan.
Fungsi Sanggah atau Pamerajan
berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali, Sanggah atau Pamerajan adalah
berfungsi sebagai berikut:
1. Sebagai
tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan para Leluhur/Kawitan.
2. Sebagai
tempat berkumpul sanak keluarga dalam rangka mempererat tali persaudaraan di
lingkup keluarga.
3. Sebagai
tempat kegiatan sosial/pendididkan yang berkaitan dengan agama.
Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih
utama yang ada di Sanggah Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah
leluhur. Untuk menguatkan kedudukan Kamulan, dibangun Palinggih-Palinggih lain
sebagai berikut.
Beberapa pelinggih yang
ada di Merajan Dadia Pasek Gelgel:
1. Padma Sari
Pelinggih Padma Sari ini
berfungsi untuk memuja Ida Bhatara Bhatari / Ida Sang Hyang Acintya/ siva
raditya. Padmasari adalah
suatu bangunan/palinggih yang ditempatkan di timur laut dimana pada bagian
diatasnya dibuat terbuka dan pada bagian tabing mahkota dipahat lukisan/relief
hyang acintya, yang berfungsi sebagai tempat pengayatan (pemujaan) Hyang Widhi dan bhatara-bhatari.
2. Pelinggih Kamulan
Tiga Sakti
.
Pelinggih Kamulan Tiga Sakti
berfungsi untuk memuja Sang Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, dan Siva). Konsep
penyatuan siva siddantha yang terlihat pada pelinggih Kamulan Tiga sakti ini,
yaitu sekte saiwa, sekte brahma, dan sekte waisnawa. Kemulan yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan sejak
abad ke-11.
3.
Pelinggih Pengayatan Puncak Gunung Agung
Pelinggih
ini berfungsi sebagai tempat pemujaan Ida Bhatara Puncak Gunung Agung
4.
Pelinggih Ida Bhatari Manik Galih
Berfungsi untuk memuja Ida Bhatari Manik
Galih. Pelinggih Manik Galih adalah pelinggih
untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Ayu Manik Galih. Dewa Ayu Manik Galih sebutan
lain dari Tuhan sebagai dewanya padi. Suburnya tanaman pangan yang disebut padi
itu adalah simbol kemakmuran ekonomi. Dalam tradisi kehidupan beragama Hindu di
Bali, Dewa Ayu Manik Galih itu adalah sebutan lain dari Dewi Sri. Dewa Wisnu
''Saktinya'' adalah Dewi Sri sebagai dewinya kemakmuran ekonomi. Karena itu,
Pelinggih Gedong dalam pura ini mungkin dipersembahkan untuk stana Batari Manik
Galih.
5.
Pelinggih Ida Bhatara Manik Toya
Pelinggih
ini berfungsi sebagai pemujaan Ida Sang Hyang Widhi yang sebagai Ida Manik Toya.
6.
Pengayatan Ida Bhatara Soring Kelapa
Pelinggih
Soring Kelapa berfungsi untuk mengaturkan bakti kepada Ida Bhatara Soring
Kelapa.
7.
Pelinggih Pesimpangan Ida Bhatara Manik Gegelang
Pelinggih ini berfungsi utuk memuja
Ida Bhatara Manik Gegelang yang merupakan manifestasi Tuhan sebagai Dewa
Wishnu dan Dewa Brahma. Pusat pemujaan dari Ida Bhatara Manik Gegelang
bertempat di Pura Luhur Pucak Gegelang-Nungnung, disebutkan Dewa Wishnu sebagai
goal pemujaan disamping itu juga di Pura ini tempat pemujaan Dewa Brahma,
sehingga dengan demikian Pura Luhur Pucak Gegelang merupakan tempat suci memuja
kebesaran Tuhan dalam prabhawanya sebagai Dewa Wishnu dan Dewa Brahma, sehingga
Pura Luhur Pucak Gegelang merupakan Pura umum. Pura Luhur Pucak Gegelang yang
berlokasi di Desa Nungnung, jika kita menyimak dan mengkaji isi sastra kuno
terutama sastra yang menguraikan tentang keberadaan Pura ini seperti tersebut
dalam uraian fungsi Pura bahwa di Pura ini tempat memuja kebesaran Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Dewa Wishnu dan Dewa Brahma.
Penghambat utama dalam penulisan ini tiada lain disebabkan karena sangat langkanya tulisan-tulisan kuno, maupun hasil penelitian ilmiah yang menyangkut keberadaan Pura Luhur Pucak Gegelang, walaupun demikian isi Purana yang telah diketemukan kiranya sudah dapat digunakan sebagai acuan dan landasan untuk mencari status Pura ini. Karena di Pura Luhur Pucak Gegelang-Nungnung merupakan tempat suci untuk memuja kebesaran Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Dewa Wishnu dan Dewa Brahma, maka Pura ini berstatus sebagai Pura Kahyangan Jagat yaitu Pura umum tempat pemujaan bagi seluruh umat Hindu.
Penghambat utama dalam penulisan ini tiada lain disebabkan karena sangat langkanya tulisan-tulisan kuno, maupun hasil penelitian ilmiah yang menyangkut keberadaan Pura Luhur Pucak Gegelang, walaupun demikian isi Purana yang telah diketemukan kiranya sudah dapat digunakan sebagai acuan dan landasan untuk mencari status Pura ini. Karena di Pura Luhur Pucak Gegelang-Nungnung merupakan tempat suci untuk memuja kebesaran Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Dewa Wishnu dan Dewa Brahma, maka Pura ini berstatus sebagai Pura Kahyangan Jagat yaitu Pura umum tempat pemujaan bagi seluruh umat Hindu.
8.
Pelinggih Pesimpangan Ratu Ngurah Kamulan dan Sakti Ngurah Kamulan
Pelinggih pesimpangan dan Sakti Ngurah Kamulan
berfungsi untuk memuja dan menghaturkan bakti sebagai Bumi dan Langit.
9.
Pelinggih Ida Bhatara Natar Raos
Pelinggih
ini berfungsi untuk memuja dan
mengaturkan bakti dimana pelinggih ini dipercaya mampu membuat orang-orang bisa
berkata dengan kata – kata yang sopan, penuh etika, dan berwibawa dalam
berbicara.
10. Pelinggih Ida Bhatara Bhatari Mas
Ngante
Pelinggih ini mempunyai fungsi memuja
Bhatara Bhatari utawi simbol Sri Rambut Sedhana. Batara Rambut Sedana dipuja sebagai Dewi Kesejahteraan yang
menganugerahkan harta kekayaan, emas-perak (sarwa mule), permata dan uang
(dana) kepada manusia. Makna dan Tujuan Filosofis dari pemujaan terhadap
beliau dalam prabawanya sebagai Ida Bhatara Rambut Sedhana adalah untuk memohon
anugraha beliau dalam berbagai macam wujud dan bentuk kemakmuran untuk segala
makhluk hidup ciptaan beliau.
11. Pelinggih Ida
Bhatara Rambut Penaub
Pelinggih ini mempunyai fungsi
untuk memuja Ida Batara Saking Penaub pesimpangan Ida Bhatara saking Kediri
Ratu Ngurah Penaub.
12.
Pelinggih Ida Bhatara Maspait/Majapahit
Pelinggih
Ida Bhatara Majapahit atau Manjangan Salwang: palinggih Dewa Rsi Mpu Kuturan
dengan Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad
ke-10 M. Bangunan ini disebut Pelinggih
Menjangan Seluang ( Salwang ) adalah pelinggih untuk menghormati jasa-jasa
Mpu Kuturan di Bali. Empu Kuturan ialah seorang Maha Rsi
dari Jawa timur yang dating ke Bali pada waktu pemerintahan Raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Empu
Kuturan di kenal sebagai salah satu tokoh spiritual yang memperkokoh
sendi-sendi kehidupan beragama di Bali. Mpu Kuturan juga di kenal sebagai
pemersatu beberapa paham atau sekte hindu yang ada di Bali. Beliau Juga
Mengajarkan berbagai jenis pedagingan secara spiritual. Dan menganjurkan
membuat Sanggah atau Merajan di tiap-tiap pekarangan rumah dan lain-lainnya.
Sebenarnya, sebelum paham atau sekte Hindu yang ada di Bali itu dapat disatukan oleh Mpu Kuturan, sering kali terjadi pertentangan paham yang menimbulkan keributan.
Maka Raja Gunapriya Dharmapatni ( Udayana Warmadewa ) yang bertahta di Bali pada waktu itu pada tahun saka 910 sampai 933 yang merupakan Raja keturunan Majapahit memandang perlu mendatangkan ahli Rohaniawan dari Majapahit, dan beliau mengirim utusan ke Majapahit, dari Majapahit mendapat tanggapan baik, maka dikirimlah Maha Rsi ke Bali. Setelah Beliau bersama-sama di Bali Raja Gunapriya Dharmapatni mengangkat Empu Kuturan sebagai Ketua Majelis dalam tugas penanganan tentang sekte‑sekte tersebut. Kemudian Empu Kuturan mengadakan pertemuan dengan nama “ Samuan Tiga “ hasil keputusan Samuan tersebut mendapat kesepakatan bahwa keagamaan didasarkan kepada Siwa dan Bhuda dan semua sekte telah masuk kedalamnya. Jadi kesimpulanya yang berstana ( Malinggih ) di Palinggih Menjangan Seluang adalah Sang Hyang Panca Rsi Terutama Empu Kuturan.
Sebenarnya, sebelum paham atau sekte Hindu yang ada di Bali itu dapat disatukan oleh Mpu Kuturan, sering kali terjadi pertentangan paham yang menimbulkan keributan.
Maka Raja Gunapriya Dharmapatni ( Udayana Warmadewa ) yang bertahta di Bali pada waktu itu pada tahun saka 910 sampai 933 yang merupakan Raja keturunan Majapahit memandang perlu mendatangkan ahli Rohaniawan dari Majapahit, dan beliau mengirim utusan ke Majapahit, dari Majapahit mendapat tanggapan baik, maka dikirimlah Maha Rsi ke Bali. Setelah Beliau bersama-sama di Bali Raja Gunapriya Dharmapatni mengangkat Empu Kuturan sebagai Ketua Majelis dalam tugas penanganan tentang sekte‑sekte tersebut. Kemudian Empu Kuturan mengadakan pertemuan dengan nama “ Samuan Tiga “ hasil keputusan Samuan tersebut mendapat kesepakatan bahwa keagamaan didasarkan kepada Siwa dan Bhuda dan semua sekte telah masuk kedalamnya. Jadi kesimpulanya yang berstana ( Malinggih ) di Palinggih Menjangan Seluang adalah Sang Hyang Panca Rsi Terutama Empu Kuturan.
13.
Gedong Pasimpenan
Gedong pesimpenan berfungsi untuk
menyimpan Pralingga Ida Bhatara. Gedong Simpen disebut juga Gedong Sari
bentuknya menyerupai gedong yang atapnya bertingkat, ada yang bertingkat dua
ada pula yang bertingkat tiga.sesuai dengan namanya, simpen berarti menyimpan,
fungsinya adalah menyimpan pralingga Ida Bhatara yang dipuja di pura tersebut.
14. Taksu Sedaan
Batur
Taksu Sedaan Batur merupakan pengayatan Ida Bhatara Batur. Dapat dikatakan fungsi Taksu adalah pemujaan kepada
Sakti dari Hyang Widhi, sehingga lengkaplah pemujaan kita kepada Hyang Widhi sebagai
Purusa dan Hyang Widhi sebagai Cakti atau Pradana. Dalam perkembangannya Taksu
berfungsi untuk memohon kesidiian atau keberhasilan untuk semua jenis profesi
baik sebagai seniman, petani, pedagang peminpin masyarakat dan sebagainya.
15. Taksu Sakti
Pelinggih
Taksu Sakti sebagai pengayatan Ida Bhatara Sakti atau memuja Ratu Ngurah
Kamulan. Dapat dikatakan fungsi Taksu
adalah pemujaan kepada Sakti dari Hyang Widhi, sehingga lengkaplah pemujaan
kita kepada Hyang Widhi sebagai Purusa dan Hyang Widhi sebagai Cakti atau
Pradana. Dalam perkembangannya Taksu berfungsi untuk memohon kesidiian atau
keberhasilan untuk semua jenis profesi baik sebagai seniman, petani, pedagang
peminpin masyarakat dan sebagainya.
16. Petiasan atau Balai
Paruman
Petiasan atau Balai paruman merupakan Palinggih
Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep
(harum-haruman). Sering juga disebut sebagai Balai Piasan (Pahyasan) karena
ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.
17. Pengelurah
di Sanggah Jajaran
Penglurah merupakan manifestasi
Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan Swabawa-nya “Bhuta Dewa”. Maksudnya, berwujud
setengah dewa setengah Bhuta, termasuk dalam kategori gandarwa. Beliau memiliki
fungsi sebagai penjaga para Dewa. Di samping itu, juga sebagai juru bicara atau
mediator antar-Dewa, dengan manusia sebagai umatnya. Dengan kata lain, beliau
adalah penyampai sembah Bhakti umat dan penyampai anugrah dewata kepada manusia
melalui kleteg hati manusia. Bangunan suci atau pelinggih
memiliki 2 macam bentuk, ada yang memakai bentuk Tepas Sari (seperti gedong)
dan ada juga yang berbentuk Tepasana (tidak beratap). Kedua bentuk itu
sama-sama sah. Manifestasi Ida Sang Hyang Widhi dengan sebutan Penglurah
sesungguhnya merupakan manifestasinya setelah Panca Maha Bhuta.
18. Meru
Pelinggih
Meru ini sebagai pesimpangan Ratu Ngurah Pasek sakeng Gelgel, pelinggih ini
dibentuk tumpang tiga sebagai simbol Gunung Agung, Gunung Lempuyang, Gunung
Batur ( Tri Purusa). Meru adalah bangunan yang menyerupai gunung yang bentuknya
bertumpang atau bertingkat. Meru itu sendiri merupakan simbol dari gunung yang
sebagai tempat bersemayamnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para Dewa serta roh-roh
suci. Umat Hindu memuja-Nya yang ditempatkan diketinggian, semakin tinggi
tempatnya semakin mulia yang dipujanya. Di India Gunung Mahameru (Himalaya)
dianggap sebagai Linggih Ciwa Karena gunung itu yang tertinggi. Di jawa, gunung
Semeru yang dimuliakan dan di Bali adalah gunung Agung sebagai linggih Hyang Widhi. Bangunan
suci meru melambangkan gunugng yang dipuja sebagai stahana Ida Sang Hyang Widhi
Wasa.
Selain gunung mempunyai
arti yang sangat penting sebagai penyimpan air. Air hujan disimpan oleh gunung
dan tanah serta hutan yang subur. Hal itu menyebabkan air tersimpan dan
mengalir kesetiap sungai. Air merupakan sumber kehidupan yang diberikan oleh
gunung, maka sunggulah pantas umat hindu menyucikan gunung yang telah memberi
kemakmuran dan keselamatan. Perwujudan rasa bhakti umat hindu terhadap gunung
terlihat dengan posisi tidur. Kepala menghadap ke arah selatan (kaja) (keadya =
ke gunung ) karena gunung dianggap sebagai hulu atau kepala. Gunung sungguh
memiliki pengaruh terhadap kemakmuran hidup manusia. Mantra yang di gunakan Di Meru Tumpang 3
marep kelod, penyawangan Pura Puseh :
Om Ang Prajapati ya srestah swatma
dipataya namah swaha.
Ang Ung Mang.
Ong Ananthabhogabhyo namah swaha.
Meru yang memiliki atap
bertingkat-tingkat merupakan simbol Asta
Dikpala yaitu delapan Dewa penguasa penjuru mata angin ditambah tiga Dewa
yang menguasai alam bawah,tengah,dan atas. Dengan demikian ada 11 dewa utama
yang disimbolisasikan pada bangunan meru. Adapaun 11 dewa yang utama itu juga
disimbolkan kedalam aksara suci yaitu, Sa,Ba,Ta,A,I,Na,Ma,Si,Wa,Ya
dan kesepuluh aksara ini menghasilkan aksara suci Om. Dengan demikian
tingkatan 9tumpang) dari meru menggambarkan jumlah manifestasi dari Ida Sang
Hyang Widhi Wasa yang diwujudkan untuk beristahana di meru tersebut untuk
menjaga dan melimpahkan kesejahteraan bagi alam semesta beserta isinya.
Tingkatan-tingkatan
meru berhubungan dengan aksara suci itu membentuk bangunan meru sebagai berikut
:
1. Meru
beratap satu : melambangkan huruf Om yang melambangkan Sang Hyang Tunggal
(Tuhan)
2. Meru
beratap dua ; melambangkan purusa dan pradhana
3. Meru
beratap tiga ; melambangkan tri purusa yaitu ciwa, sada ciwa, Para ciwa
4. Meru
beratap lima : lambang keempat penjuru mata angin ditambah ditengah-tengah (panca dewata)
5. Meru
beratap tujuh : lambang sapta dewata atau sapta rsi
6. Meru
beratap sembilan : lambang dewata nawa sanga
7. Meru
beratap sebelas : lambang ekadasa dewata.
Di dalam
sanggah tepatnya di Pura Dalem Segening Banjar Kutuh Desa Suwug kecamatan sawan
meru yang digunakan adalah Meru Tumpang Tiga. Seperti yang telah didjelaskan
diatas bahwa meru tumpang tiga melambangkan dari Tri Purusa yaitu Ciwa, Sada
Ciwa, Parama Ciwa. Selain itu meru juga sebagai bentuk gunung juga dipandang
sebagai tempat beristhananya roh suci leluhur. Dalam konsep di Bali, apabila
telah dilaksanakan upacara penyucian maka roh-roh leluhur akan beristhana
digunung. Dengan demikian meru selain berfungsi sebagai pemujaan manifestasi
Ida Sang Hyang Widhi Wasa juga sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur. Selain
meru tumpang tiga ada juga meru yang bertumpang dua. Meru tumpang dua yang berjumlah dua buah digunakan
secara khusus, letaknya berjajar
atau berdampingan dengan meru-meru yang
lain yang atapnya bertumpang ganjil.
Angka 2 digunakan karena di samping merupakan bilangan prima yang
sakral, juga sebagai simbol ardanareswari atau rwa bhineda (Lontar
Bhuwana-Kosa), pencipta segala sesuatu yang berlawanan di dunia :
laki-perempuan, malam-siang, dharma-adharma. Aksara suci-Nya: Ang, Ah. Meru tumpang dua merupakan purusa dan
pradhana, yang dimana dalam Mrajan Dalem Sagening merupakan penyawangan Ida
Bhatara ring Sibang dan penyawangan Ida Bhatara Ring Macang.
19. Taksu Penyarikan
Pelinggih
Taksu Penyarikan berfungsi menghaturkan bakti ring Dewa taksu penyarikan.
20. Piasan Ring Kawitan
Pelinggih piasan ring
kawitan ini berfungsi memuja Ida Bhatara Siwa kawitan
21. Pengelurah ring
Kawitan
Pelinggih Pengelurah ring Kawitan
ini berfungsi sebagai memuja Ida Bhatara Bhuta dan Dewa. Beliau memiliki fungsi sebagai penjaga para Dewa. Di
samping itu, juga sebagai juru bicara atau mediator antar-Dewa, dengan manusia
sebagai umatnya. Dengan kata lain, beliau adalah penyampai sembah Bhakti umat
dan penyampai anugrah dewata kepada manusia melalui
kleteg hati manusia.
22. Paibon Sekepat Sari
Pelinggih Paibon Sekepat Sari mempunyai
fungsi sebagai tempat memuja pesimpenan Hyang leluhur yang sudah diaben. Paibon juga
memiliki fungsi yang
sama dengan Pura Kawitan, adalah tempat pemujaan roh leluhur yang
telah suci dari masing-masing warga atau kelompok kekerabatan yang memiliki ikatan
(wit) berdasarkan garis kelahiran (genealogis).
23. Lebuh
Pelinggih lebuh
berfungsi untuk menghaturkan segehan
kepada Sang Kala Cari.
2.4. Odalan di Sanggah Pamrajan Pasek Gelgel.
Odalan
berasal dari kata “Wedal” atau lahir; hari Odalan = hari wedal = hari lahir =
hari di-stanakannya Ida Bethara di Pura dan Sanggah Pamrajan. Yang menjadi
patokan adalah hari upacara Ngenteg Linggih yang pertama kali.
Istilah
lain yang digunakan untuk hari Odalan adalah hari: Petirtaan (karena di saat
itu kepada Ida Bethara disiratkan tirta pebersihan dan dimohonkan tirta
wangsuhpada), Petoyaan (sama dengan Petirtaan), Pujawali (karena di saat itu
diadakan pemujaan “wali” = kembali di hari kelahiran = wedal).
Odalan di dadia Merajan Pasek Gelgel menurut pawisik
Ida Bhatara dilaksankan pada Redite Umanis wuku Menail, menurut Penguisik Ida
Bhatara Odalan di Sanggah Jajaran dan di Kawitan dilaksanakan setiap 6 (enam)
bulan sekali. Dimana setiap 6 bulan pertama dilaksanakan odalan Ageng dan 6
bulan kemudiannya dilakukan odalan Alit.
Odalan
ring Paibon dilaksanakan menurut Panguisik Ida Bhatara sami agar Dilaksanakan
pada rahina Budha Umanis JulungWangi odalan dilaksanakan dan odalan
dilaksanakan 6 bulan sekali.
Susunan upacara
Ngaturang Piodalan adalah sebagai berikut.:
- Mapiuning di Sanggah Pamrajan bahwa akan ngaturang
Piodalan
- Macaru, bersamaan dengan Newasain/ Nanceb tetaring
- Nuwur tirta ke Pura-Pura lain menurut tradisi
- Nedunang pratima-pratima Ida Bethara
- Mamendak Ida Bethara
- Makalahias
- Ngewangsuh dan masucian
- Ngadegang Ida Bethara
- Ngaturang Piodalan, pemuspaan
- Nyineb Ida Bethara
- Masidakarya
2.5.
Pemangku ring sanggah Pamrajan, kawitan dan Paibon
Pengelompokan Sanggah Pemerajan
berbeda-beda. Ada yang memecah menjadi tiga kelompok seperti Sanggah Pemerajan,
Kawitan,dan Dewa Hyang dengan batas tembok penyengker, bahkan dengan hari
piodalan dan pemangku Yang berbeda.
Didalam Sanggah Dadia ini yang
menjadi penganteb atau Pemangku ada tiga Pemangku menurut hasil “Nedunang Ida
Bhatara”.
1. Pengempon Pemangku di Sanggah
Pemrajan ini berfungsi untuk menjadi jembatan atau “ jan Bangul” atau juru sapuh di Sanggah Pemrajan
pesimpangan Bhatara sami rikala diadakan Piodalan.
2. Pengempon Pemangku ring Kawitan
berfungsi untuk menghubungkan pemedek atau krama sane ngaturang bakti ketika
mengadakan Piodalan di Kawitan.
3. Pemangku yang ngempon di sanggah
Paibon berfungsi untuk menjadi jan bangul ketika ngaturang bakti disaat odalan
Ida Bhatara Sami yang sudah di Istanakan di Paibon Sekepat sari.
2.6. Tata Cara Memasuki Sanggah Pamrajan Pasek Gelgel
Pura dan Sanggah
Pamrajan adalah tempat suci oleh karena itu maka sebelum masuk hendaknya
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Bersih lahir bathin; lahir: sudah mandi, pakaian bersih
dengan tata cara pakaian yang wajar untuk bersembahyang; bathin: pikiran
yang hening, tenang, tentram dan siap memusatkan pikiran untuk berbakti
kepada Yang Maha Kuasa.
- Tidak dalam keadaan cuntaka, kecuali kematian dan
perkawinan, boleh masuk ke Sanggah Pamrajan keluarga sendiri.
- Bayi yang belum diupacarai tiga bulanan tidak boleh
masuk karena masih “leteh”.
- Wanita yang rambutnya diurai (“megambahan”) tidak boleh
masuk karena rambut yang diurai menyiratkan: keasmaraan (birahi), marah,
sedih, dan mempelajari ilmu hitam.
- Ibu yang sedang menyusui bayi boleh masuk dengan syarat
tidak boleh menyusui bayi di dalam (jeroan) karena air susu Ibu yang
menetes akan “ngeletehin” Pura dan Sanggah Pamrajan, di samping itu
dipandang tidak sopan mengeluarkan buah dada.
- Mereka yang sedang sakit, baik sakit badan maupun sakit
ingatan, atau yang terluka tidak boleh masuk karena dapat ngeletehin.
- Tidak dalam keadaan mabuk atau “fly”
Pintu/
Pemedal dibuat sempit, cukup untuk satu atau dua orang berbarengan, maksudnya
agar masuk ke dalam Pura dan Sanggah Pamrajan secara tertib tidak terburu-buru.
Setelah berada di dalam Pura dan Sanggah Pamrajan tata tertib yang perlu
diperhatikan antara lain:
- Tidak melakukan perbuatan yang dapat mengganggu
ketentraman bersembahyang.
- Tidak makan/ minum berlebih-lebihan
- Tidak membuang kotoran
- Tidak bertengkar/ berkelahi
- Tidak berbicara keras/ memaki, memfitnah atau
membicarakan keburukan orang lain.
- Tidak bersedih, menangis/ meratap.
2.7. Konsep Penyatuan Siva Siddantha
Pada Pelinggih Kamulan Tiga Sakti yang
berfungsi untuk memuja Sang Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, dan Siva). Konsep
penyatuan siva siddantha yang terlihat pada pelinggih Kamulan Tiga sakti ini,
yaitu sekte saiwa, sekte brahma, dan sekte waisnawa. Kemudian pada Padmasari
merupakan pemujaan Hyang Siwa Raditya yang diatasnya dibuat terbuka yang
terdapat lukisan gambar Hyang Acintya. Ini merupakan konsep pemujaan kepada
siwa yang bergelar Hyang Siwa Raditya. Dapat disimpulkan dalam konsep Padmasari
merupakan mendapatkan pengaruh sekta siwa siddhanta. Selain itu juga terdapat
sekte sora (surya) yang berada di pelinggih surya. Surya raditya adalah gelar
dari dewa surya atas anugerah dari dang guru (dewa siwa).
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pada pembahasan
penulisan makalah ini maka dapat disimpulkan. Adapun kesimpulan itu adalah
sebagai berikut :
1.
Yang
melatar belakangi berdirinya Sanggah Pemerajan Pasek Gelgel yakni karena adanya
pawisik dari Hyang Kompiang atau Leluhur yang ada disana. Sanggah Pamrajan ini
berdiri kurang lebih pada tahun 1950, dengan berdasarkan sebuah pawisik maka
disertai dengan musyawarah mupakat didirikanlah Sanggah Pamrajan ini yang
tempatnya terletak di Banjar Sekar Sari, Desa Selat. Awal mula orang yang
nyungsung disana cuma 5 orang pengelingsir diantaranya : pengelingsir Mangku
Toya, Pengelingsir Pan Sumiara, Pengelingsir Pan Mudarai, dan Pengelingsir Pan
Sabda. Lambat laun berkembang dan berkembang hingga sekarang menjadi 50 kaka penyungsung.
2.
Odalan di dadia Merajan Pasek Gelgel menurut pawisik
Ida Bhatara dilaksankan pada Redite Umanis wuku Menail, menurut Penguisik Ida
Bhatara Odalan di Sanggah Jajaran dan di Kawitan dilaksanakan setiap 6 (enam)
bulan sekali. Dimana setiap 6 bulan pertama dilaksanakan odalan Ageng dan 6
bulan kemudiannya dilakukan odalan Alit. Odalan ring Paibon dilaksanakan
menurut Panguisik Ida Bhatara sami agar Dilaksanakan pada rahina Budha Umanis
JulungWangi odalan dilaksanakan dan odalan dilaksanakan 6 bulan sekali.
3. Konsep penyatuan ajaran Siva Siddantha terdapat
pada pelinggih
Kamulan Tiga sakti yaitu sekte saiwa,
sekte brahma, dan sekte waisnawa. Kemudian pada Padmasari
merupakan pemujaan Hyang Siwa Raditya yang diatasnya dibuat terbuka yang
terdapat lukisan gambar Hyang Acintya. Ini merupakan konsep pemujaan kepada
siwa yang bergelar Hyang Siwa Raditya. Dapat disimpulkan dalam konsep Padmasari
merupakan mendapatkan pengaruh sekta siwa siddhanta. Selain itu juga terdapat
sekte sora (surya) yang berada di pelinggih surya. Surya raditya adalah gelar
dari dewa surya atas anugerah dari dang guru (dewa siwa).
3.2. Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan
dalam tulisan ini, agar para pembaca dapat memberikan mengetahui keberadaan
serta apa yang terdapat di dalam Merajan Pasek Gelgel yang terletak di banjar
Sekar Sari, desa Selat. Selain itu di harapkan kedepannya kita selaku
umat Hindu harus mengetahui silsilah/asal-usul diri melalui pengamatan yang di
lakukan di Sanggah Merajan kita sendiri.
Daftar Pustaka
Gunawan Pasek. 2012.
Bahan Ajar Sivasiddhanta II.
Sara
Sastra Gde. 2008. Bhujangga Waisnawa dan Sang Triniti. Pustaka Bali Post.
Wiana
I Ketut. 2000. Arti Dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Paramita. Surabaya
Bpk Wayan Sudama (informan selaku ketua dadia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar