Rabu, 18 September 2013

sanggah merajan

SIVA SIDDANTHA II

KONSEP PENYATUAN SIVA SIDDANTHA YANG TERDAPAT PADA DADIA PASEK GELGEL DI  BANJAR SEKAR SARI, DESA SELAT
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan , S.Pd.H




IHDN Denpasar

Oleh:

I Gede Adnyana (10.1.1.1.1.3822 )





FAKULTAS DHARMA ACARYA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
INSTITUT HAINDU DHARMA NEGRI DENPASAR
2012/2013





I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Suatu ciri utama kehidupan dalam ber-Agama Hindu adalah percaya dan bakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan-Nya tidak terbatas sedangkan kemampuan manusia sangat terbatas.
Manusia dalam ketidaksempurnaannya selalu ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa agar memperoleh perlindungan dan petunjuk dalam menempuh kehidupan. Mereka yang memahami pengertian ini menjadi manusia yang mulia karena senantiasa mengutamakan ke-Tuhanan dalam tatanan kehidupannya.
Dalam Bhagwadgita dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia berdasarkan yadnya dan sebagai sumber kehidupan manusia Tuhan menciptakan alam. Oleh karena itu selalu diupayakan menjaga keharmonisan antara: Tuhan – Manusia – Alam melalui yadnya.
Manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan jalan yadnya memerlukan sarana antara lain Sanggah Pamrajan. Sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga
.

           





II. PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Dan Tattwa Sanggah/Merajan
              Merajan Atau sanggah dalam keluarga Hindu adalah sebuah tempat suci yang berdasarkan konsep Tri mandala, Tri Angga atau Tri Hita Karana merupakan sebuah tempat suci untuk memuja Tuhan dan Juga Roh leluhur. Menurut konsep Tri angga Mrajan adalah tempat utamanya yang Diibaratkan sebagai Kepala, Rumah keluarga dianggap sebagai Badan atau bagian madya sedangkan bagian Nista angga adalah perkebunan atau pekarangan.
              Sedangkan menurut konsep Tri Hita Karana mrajan adalah sebuah prahayangan tempat untuk memuja tuhan dan juga roh leluhur menjadi satu. Sebagai satu keselarasan antara orang yang tinggal dan lingkungannya juga diperlukan sebuah tempat untuk melakukan sebuah sinergisme ke atas yang dalam hal ini berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi merajan adalah sebuah tempat suci yang berada disetiap lingkungan keluarga untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga roh leluhur.
              Menurut Tatwa atau sejarahnya sanggah/mrajan berawal dari jaman Batu kira – kira 2500 tahun SM hingga 500 SM diamana orang bali saat itu telah memiliki keyakinan atau kepercayaan akan roh leluhur .namun media yang digunakan untuk melakukan pemujaan sangatlah sederhana yaitu sebuah tumpukan batu yang sering disebut Menhir dan juga berbagai macam tugu batu.
              Setelah kedatangan agama Hindu ke bali tempat pemujaan di bali diubah sesuai dengan konsep yang di bawa orang – orang suci seperti Rsi Markanyeya, Dang Hyang Siddhimantra dan juga Dang Hyang Nirartha dan juga Empat Putra dari Hyang Gni Jaya Barulah dibuatkan sebuah tempat yang bernama mrajan. Pada tahun 1019 – 1042 Mpu Kuturan datang ke Bali beliaulah yang menyatukan Sembilan sekte yang ada di Bali antara lain Siwa Siddanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Sogata, Brahmana, Rsi, Sora, Surya, Ganapatya menjadi Konsep Tri Murti yaitu sebuah konsep pemujaan kepada Tiga dewa Yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Sama Seperti Candi parambanan yang diperuntukkan untuk memuja Brahma, Wisnu dan Siwa. Wisnu dan Di tengah Dewa Siwa yang sering disebut dengan Tri Purusa Ketika Dang Hyang Nirartha datang ke Bali pada Tahun 1540 membawa konsepTri Purusha yaitu pemujaan Sang Hyang tunggal yaitu berupa Bangunan Padmasana. Dalam Konsep Tri Murti yang terdapat di Prahayangan Jagat dibuatkan tempat suci bernama kahyangan tiga yaitu Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung untuk memuja Siwa, Brahma dan juga Wisnu. Di Mrajan itu sendiri Tri murti dipuja dalam konsep Rong Tiga, Di kanan dilinggihkan Dewa Brahma, Di kiri Dewa
2.2. Sejarah Berdirinya Sanggah Pemerajan Pasek Gelgel
            Yang melatar belakangi berdirinya Sanggah Pemerajan Pasek Gelgel yakni karena adanya pawisik dari Hyang Kompiang atau Leluhur yang ada disana. Sanggah Pamrajan ini berdiri kurang lebih pada tahun 1950, dengan berdasarkan sebuah pawisik maka disertai dengan musyawarah mupakat didirikanlah Sanggah Pamrajan itu yang tempatnya terletak di Banjar Sekar Sari, Desa Selat. Awal mula orang yang nyungsung disana Cuma 5 orang pengelingsir diantaranya : pengelingsir Mangku Toya, Pengelingsir Pan Sumiara, Pengelingsir Pan Mudarai, dan Pengelingsir Pan Sabda. Lambat laun berkembang dan berkembang hingga sekarang menjadi 50  kaka penyungsung.
2.3. Bagian – bagian Pelinggih ring Sanggah Pamrajan Pasek Gelgel.
Dalam perkembangannya di Bali semenjak kedatangan Mpu Kuturan semua dari keturunan tersebut setiap keluarga memiliki sanggah kemulan dan berkembang ke tingkat yang lebih besar kelompok keturunan (kawitan) tersebut selayaknya memiliki Sanggah yang lebih besar/Pamerajan.
            Fungsi Sanggah atau Pamerajan berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali, Sanggah atau Pamerajan adalah berfungsi sebagai berikut:
1.      Sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan para Leluhur/Kawitan.
2.      Sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam rangka mempererat tali persaudaraan di lingkup keluarga.
3.      Sebagai tempat kegiatan sosial/pendididkan yang berkaitan dengan agama.
            Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih utama yang ada di Sanggah Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur. Untuk menguatkan kedudukan Kamulan, dibangun Palinggih-Palinggih lain sebagai berikut.


Beberapa pelinggih yang ada di Merajan  Dadia Pasek Gelgel:
1. Padma Sari
                 Pelinggih Padma Sari ini berfungsi untuk memuja Ida Bhatara Bhatari / Ida Sang Hyang Acintya/ siva raditya. Padmasari adalah suatu bangunan/palinggih yang ditempatkan di timur laut dimana pada bagian diatasnya dibuat terbuka dan pada bagian tabing mahkota dipahat lukisan/relief hyang acintya, yang berfungsi sebagai tempat pengayatan (pemujaan) Hyang Widhi dan bhatara-bhatari. 
2. Pelinggih Kamulan Tiga Sakti
.
            Pelinggih Kamulan Tiga Sakti berfungsi untuk memuja Sang Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, dan Siva). Konsep penyatuan siva siddantha yang terlihat pada pelinggih Kamulan Tiga sakti ini, yaitu sekte saiwa, sekte brahma, dan sekte waisnawa. Kemulan yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan sejak abad ke-11.
3. Pelinggih Pengayatan Puncak Gunung Agung
Pelinggih ini berfungsi sebagai tempat pemujaan Ida Bhatara Puncak Gunung Agung
4. Pelinggih Ida Bhatari Manik Galih
Berfungsi untuk memuja Ida Bhatari Manik Galih. Pelinggih Manik Galih adalah pelinggih untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Ayu Manik Galih. Dewa Ayu Manik Galih sebutan lain dari Tuhan sebagai dewanya padi. Suburnya tanaman pangan yang disebut padi itu adalah simbol kemakmuran ekonomi. Dalam tradisi kehidupan beragama Hindu di Bali, Dewa Ayu Manik Galih itu adalah sebutan lain dari Dewi Sri. Dewa Wisnu ''Saktinya'' adalah Dewi Sri sebagai dewinya kemakmuran ekonomi. Karena itu, Pelinggih Gedong dalam pura ini mungkin dipersembahkan untuk stana Batari Manik Galih.
5. Pelinggih Ida Bhatara Manik Toya
              Pelinggih ini berfungsi sebagai pemujaan Ida Sang Hyang Widhi yang sebagai Ida Manik Toya.




6. Pengayatan Ida Bhatara Soring Kelapa
              Pelinggih Soring Kelapa berfungsi untuk mengaturkan bakti kepada Ida Bhatara Soring Kelapa.
7. Pelinggih Pesimpangan Ida Bhatara Manik Gegelang
              Pelinggih ini berfungsi utuk memuja Ida Bhatara Manik Gegelang yang merupakan  manifestasi Tuhan sebagai Dewa Wishnu dan Dewa Brahma. Pusat pemujaan dari Ida Bhatara Manik Gegelang bertempat di Pura Luhur Pucak Gegelang-Nungnung, disebutkan Dewa Wishnu sebagai goal pemujaan disamping itu juga di Pura ini tempat pemujaan Dewa Brahma, sehingga dengan demikian Pura Luhur Pucak Gegelang merupakan tempat suci memuja kebesaran Tuhan dalam prabhawanya sebagai Dewa Wishnu dan Dewa Brahma, sehingga Pura Luhur Pucak Gegelang merupakan Pura umum. Pura Luhur Pucak Gegelang yang berlokasi di Desa Nungnung, jika kita menyimak dan mengkaji isi sastra kuno terutama sastra yang menguraikan tentang keberadaan Pura ini seperti tersebut dalam uraian fungsi Pura bahwa di Pura ini tempat memuja kebesaran Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wishnu dan Dewa Brahma.
              Penghambat utama dalam penulisan ini tiada lain disebabkan karena sangat langkanya tulisan-tulisan kuno, maupun hasil penelitian ilmiah yang menyangkut keberadaan Pura Luhur Pucak Gegelang, walaupun demikian isi Purana yang telah diketemukan kiranya sudah dapat digunakan sebagai acuan dan landasan untuk mencari status Pura ini. Karena di Pura Luhur Pucak Gegelang-Nungnung merupakan tempat suci untuk memuja kebesaran Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Dewa Wishnu dan Dewa Brahma, maka Pura ini berstatus sebagai Pura Kahyangan Jagat yaitu Pura umum tempat pemujaan bagi seluruh umat Hindu.
8. Pelinggih Pesimpangan Ratu Ngurah Kamulan dan Sakti Ngurah Kamulan
              Pelinggih pesimpangan dan Sakti Ngurah Kamulan berfungsi untuk memuja dan menghaturkan bakti sebagai Bumi dan Langit.
9. Pelinggih Ida Bhatara Natar Raos

              Pelinggih ini berfungsi  untuk memuja dan mengaturkan bakti dimana pelinggih ini dipercaya mampu membuat orang-orang bisa berkata dengan kata – kata yang sopan, penuh etika, dan berwibawa dalam berbicara.

10. Pelinggih Ida Bhatara Bhatari Mas Ngante
              Pelinggih ini mempunyai fungsi memuja Bhatara Bhatari utawi simbol Sri Rambut Sedhana. Batara Rambut Sedana dipuja sebagai Dewi Kesejahteraan yang menganugerahkan harta kekayaan, emas-perak (sarwa mule), permata dan uang (dana) kepada manusia. Makna dan Tujuan Filosofis dari pemujaan terhadap beliau dalam prabawanya sebagai Ida Bhatara Rambut Sedhana adalah untuk memohon anugraha beliau dalam berbagai macam wujud dan bentuk kemakmuran untuk segala makhluk hidup ciptaan beliau.
11. Pelinggih Ida Bhatara Rambut Penaub
              Pelinggih ini mempunyai fungsi untuk memuja Ida Batara Saking Penaub pesimpangan Ida Bhatara saking Kediri Ratu Ngurah Penaub.

12. Pelinggih Ida Bhatara Maspait/Majapahit
                   Pelinggih Ida Bhatara Majapahit atau Manjangan Salwang: palinggih Dewa Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 M. Bangunan ini disebut Pelinggih Menjangan Seluang ( Salwang ) adalah pelinggih untuk menghormati jasa-jasa Mpu Kuturan di Bali. Empu Kuturan ialah seorang Maha Rsi dari Jawa timur yang dating ke Bali pada waktu pemerintahan Raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Empu Kuturan di kenal sebagai salah satu tokoh spiritual yang memperkokoh sendi-sendi kehidupan beragama di Bali. Mpu Kuturan juga di kenal sebagai pemersatu beberapa paham atau sekte hindu yang ada di Bali. Beliau Juga Mengajarkan berbagai jenis pedagingan secara spiritual. Dan menganjurkan membuat Sanggah atau Merajan di tiap-tiap pekarangan rumah dan lain-lainnya.
              Sebenarnya, sebelum paham atau sekte Hindu yang ada di Bali itu dapat disatukan oleh Mpu Kuturan, sering kali terjadi pertentangan paham yang menimbulkan keributan.
Maka Raja Gunapriya Dharmapatni ( Udayana Warmadewa ) yang bertahta di Bali pada waktu itu pada tahun saka 910 sampai 933 yang merupakan Raja keturunan Majapahit memandang perlu mendatangkan ahli Rohaniawan dari Majapahit, dan beliau mengirim utusan ke Majapahit, dari Majapahit mendapat tanggapan baik, maka dikirimlah Maha Rsi ke Bali. Setelah Beliau bersama-sama di Bali Raja Gunapriya Dharmapatni mengangkat Empu Kuturan sebagai Ketua Majelis dalam tugas penanganan tentang sekte‑sekte tersebut. Kemudian Empu Kuturan mengadakan pertemuan dengan nama “ Samuan Tiga “ hasil keputusan Samuan tersebut mendapat kesepakatan bahwa keagamaan didasarkan kepada Siwa dan Bhuda dan semua sekte telah masuk kedalamnya. Jadi kesimpulanya yang berstana ( Malinggih ) di Palinggih Menjangan Seluang adalah Sang Hyang Panca Rsi Terutama Empu Kuturan.
13. Gedong Pasimpenan
              Gedong pesimpenan berfungsi untuk menyimpan Pralingga Ida Bhatara. Gedong Simpen disebut juga Gedong Sari bentuknya menyerupai gedong yang atapnya bertingkat, ada yang bertingkat dua ada pula yang bertingkat tiga.sesuai dengan namanya, simpen berarti menyimpan, fungsinya adalah menyimpan pralingga Ida Bhatara yang dipuja di pura tersebut.

14. Taksu Sedaan Batur
              Taksu Sedaan Batur  merupakan pengayatan Ida Bhatara Batur. Dapat dikatakan fungsi Taksu adalah pemujaan kepada Sakti dari Hyang Widhi, sehingga lengkaplah pemujaan kita kepada Hyang Widhi sebagai Purusa dan Hyang Widhi sebagai Cakti atau Pradana. Dalam perkembangannya Taksu berfungsi untuk memohon kesidiian atau keberhasilan untuk semua jenis profesi baik sebagai seniman, petani, pedagang peminpin masyarakat dan sebagainya.

15. Taksu Sakti
              Pelinggih Taksu Sakti sebagai pengayatan Ida Bhatara Sakti atau memuja Ratu Ngurah Kamulan. Dapat dikatakan fungsi Taksu adalah pemujaan kepada Sakti dari Hyang Widhi, sehingga lengkaplah pemujaan kita kepada Hyang Widhi sebagai Purusa dan Hyang Widhi sebagai Cakti atau Pradana. Dalam perkembangannya Taksu berfungsi untuk memohon kesidiian atau keberhasilan untuk semua jenis profesi baik sebagai seniman, petani, pedagang peminpin masyarakat dan sebagainya.

16. Petiasan atau Balai Paruman
Petiasan atau Balai paruman merupakan Palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagai Balai Piasan (Pahyasan) karena ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.
17. Pengelurah di Sanggah Jajaran
              Penglurah merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan Swabawa-nya “Bhuta Dewa”. Maksudnya, berwujud setengah dewa setengah Bhuta, termasuk dalam kategori gandarwa. Beliau memiliki fungsi sebagai penjaga para Dewa. Di samping itu, juga sebagai juru bicara atau mediator antar-Dewa, dengan manusia sebagai umatnya. Dengan kata lain, beliau adalah penyampai sembah Bhakti umat dan penyampai anugrah dewata kepada manusia melalui kleteg hati manusia. Bangunan suci atau pelinggih memiliki 2 macam bentuk, ada yang memakai bentuk Tepas Sari (seperti gedong) dan ada juga yang berbentuk Tepasana (tidak beratap). Kedua bentuk itu sama-sama sah. Manifestasi Ida Sang Hyang Widhi dengan sebutan Penglurah sesungguhnya merupakan manifestasinya setelah Panca Maha Bhuta.

18. Meru
Pelinggih Meru ini sebagai pesimpangan Ratu Ngurah Pasek sakeng Gelgel, pelinggih ini dibentuk tumpang tiga sebagai simbol Gunung Agung, Gunung Lempuyang, Gunung Batur ( Tri Purusa). Meru adalah bangunan yang menyerupai gunung yang bentuknya bertumpang atau bertingkat. Meru itu sendiri merupakan simbol dari gunung yang sebagai tempat bersemayamnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para Dewa serta roh-roh suci. Umat Hindu memuja-Nya yang ditempatkan diketinggian, semakin tinggi tempatnya semakin mulia yang dipujanya. Di India Gunung Mahameru (Himalaya) dianggap sebagai Linggih Ciwa Karena gunung itu yang tertinggi. Di jawa, gunung Semeru yang dimuliakan dan di Bali adalah gunung  Agung sebagai linggih Hyang Widhi. Bangunan suci meru melambangkan gunugng yang dipuja sebagai stahana Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Selain gunung mempunyai arti yang sangat penting sebagai penyimpan air. Air hujan disimpan oleh gunung dan tanah serta hutan yang subur. Hal itu menyebabkan air tersimpan dan mengalir kesetiap sungai. Air merupakan sumber kehidupan yang diberikan oleh gunung, maka sunggulah pantas umat hindu menyucikan gunung yang telah memberi kemakmuran dan keselamatan. Perwujudan rasa bhakti umat hindu terhadap gunung terlihat dengan posisi tidur. Kepala menghadap ke arah selatan (kaja) (keadya = ke gunung ) karena gunung dianggap sebagai hulu atau kepala. Gunung sungguh memiliki pengaruh terhadap kemakmuran hidup manusia.  Mantra yang di gunakan Di Meru Tumpang 3 marep kelod, penyawangan Pura Puseh :
Om Ang Prajapati ya srestah swatma dipataya namah swaha.
Ang Ung Mang.
Ong Ananthabhogabhyo namah swaha.
            Meru yang memiliki atap bertingkat-tingkat merupakan simbol Asta Dikpala yaitu delapan Dewa penguasa penjuru mata angin ditambah tiga Dewa yang menguasai alam bawah,tengah,dan atas. Dengan demikian ada 11 dewa utama yang disimbolisasikan pada bangunan meru. Adapaun 11 dewa yang utama itu juga disimbolkan kedalam aksara suci yaitu, Sa,Ba,Ta,A,I,Na,Ma,Si,Wa,Ya dan kesepuluh aksara ini menghasilkan aksara suci Om. Dengan demikian tingkatan 9tumpang) dari meru menggambarkan jumlah manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diwujudkan untuk beristahana di meru tersebut untuk menjaga dan melimpahkan kesejahteraan bagi alam semesta beserta isinya.
Tingkatan-tingkatan meru berhubungan dengan aksara suci itu membentuk bangunan meru sebagai berikut :
1.      Meru beratap satu : melambangkan huruf Om yang melambangkan Sang Hyang Tunggal (Tuhan)
2.      Meru beratap dua ; melambangkan purusa dan pradhana
3.      Meru beratap tiga ; melambangkan tri purusa yaitu ciwa, sada ciwa, Para ciwa
4.      Meru beratap lima : lambang keempat penjuru mata angin ditambah ditengah-tengah  (panca dewata)
5.      Meru beratap tujuh : lambang sapta dewata atau sapta rsi
6.      Meru beratap sembilan : lambang dewata nawa sanga
7.      Meru beratap sebelas : lambang ekadasa dewata.
Di dalam sanggah tepatnya di Pura Dalem Segening Banjar Kutuh Desa Suwug kecamatan sawan meru yang digunakan adalah Meru Tumpang Tiga. Seperti yang telah didjelaskan diatas bahwa meru tumpang tiga melambangkan dari Tri Purusa yaitu Ciwa, Sada Ciwa, Parama Ciwa. Selain itu meru juga sebagai bentuk gunung juga dipandang sebagai tempat beristhananya roh suci leluhur. Dalam konsep di Bali, apabila telah dilaksanakan upacara penyucian maka roh-roh leluhur akan beristhana digunung. Dengan demikian meru selain berfungsi sebagai pemujaan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa juga sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur. Selain meru tumpang tiga ada juga meru yang bertumpang dua.  Meru tumpang dua yang berjumlah dua buah digunakan secara khusus,  letaknya  berjajar atau berdampingan  dengan meru-meru yang lain yang atapnya bertumpang ganjil.  Angka 2 digunakan karena di samping merupakan bilangan prima yang sakral, juga sebagai simbol ardanareswari atau rwa bhineda (Lontar Bhuwana-Kosa), pencipta segala sesuatu yang berlawanan di dunia : laki-perempuan, malam-siang, dharma-adharma. Aksara suci-Nya: Ang, Ah. Meru tumpang dua merupakan purusa dan pradhana, yang dimana dalam Mrajan Dalem Sagening merupakan penyawangan Ida Bhatara ring Sibang dan penyawangan Ida Bhatara Ring Macang.
19. Taksu Penyarikan
Pelinggih Taksu Penyarikan berfungsi menghaturkan bakti ring Dewa taksu penyarikan.

20. Piasan Ring Kawitan
Pelinggih piasan ring kawitan ini berfungsi memuja Ida Bhatara Siwa kawitan
21. Pengelurah ring Kawitan
              Pelinggih Pengelurah ring Kawitan ini berfungsi sebagai memuja Ida Bhatara Bhuta dan Dewa. Beliau memiliki fungsi sebagai penjaga para Dewa. Di samping itu, juga sebagai juru bicara atau mediator antar-Dewa, dengan manusia sebagai umatnya. Dengan kata lain, beliau adalah penyampai sembah Bhakti umat dan penyampai anugrah dewata kepada manusia melalui kleteg hati manusia.
22. Paibon Sekepat Sari
              Pelinggih Paibon Sekepat Sari mempunyai fungsi sebagai tempat memuja pesimpenan Hyang leluhur yang sudah diaben. Paibon juga memiliki fungsi yang sama dengan Pura Kawitan, adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing-masing warga atau kelompok kekerabatan yang memiliki ikatan (wit) berdasarkan garis kelahiran (genealogis).
23. Lebuh
Pelinggih lebuh berfungsi untuk menghaturkan segehan  kepada Sang Kala Cari.
2.4. Odalan di Sanggah Pamrajan Pasek Gelgel.
Odalan berasal dari kata “Wedal” atau lahir; hari Odalan = hari wedal = hari lahir = hari di-stanakannya Ida Bethara di Pura dan Sanggah Pamrajan. Yang menjadi patokan adalah hari upacara Ngenteg Linggih yang pertama kali.
Istilah lain yang digunakan untuk hari Odalan adalah hari: Petirtaan (karena di saat itu kepada Ida Bethara disiratkan tirta pebersihan dan dimohonkan tirta wangsuhpada), Petoyaan (sama dengan Petirtaan), Pujawali (karena di saat itu diadakan pemujaan “wali” = kembali di hari kelahiran = wedal).
Odalan  di dadia Merajan Pasek Gelgel menurut pawisik Ida Bhatara dilaksankan pada Redite Umanis wuku Menail, menurut Penguisik Ida Bhatara Odalan di Sanggah Jajaran dan di Kawitan dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan sekali. Dimana setiap 6 bulan pertama dilaksanakan odalan Ageng dan 6 bulan kemudiannya dilakukan odalan Alit.
Odalan ring Paibon dilaksanakan menurut Panguisik Ida Bhatara sami agar Dilaksanakan pada rahina Budha Umanis JulungWangi odalan dilaksanakan dan odalan dilaksanakan 6 bulan sekali.
Susunan upacara Ngaturang Piodalan adalah sebagai berikut.:
  1. Mapiuning di Sanggah Pamrajan bahwa akan ngaturang Piodalan
  2. Macaru, bersamaan dengan Newasain/ Nanceb tetaring
  3. Nuwur tirta ke Pura-Pura lain menurut tradisi
  4. Nedunang pratima-pratima Ida Bethara
  5. Mamendak Ida Bethara
  6. Makalahias
  7. Ngewangsuh dan masucian
  8. Ngadegang Ida Bethara
  9. Ngaturang Piodalan, pemuspaan
  10. Nyineb Ida Bethara
  11. Masidakarya
2.5. Pemangku ring sanggah Pamrajan, kawitan dan Paibon
             Pengelompokan Sanggah Pemerajan berbeda-beda. Ada yang memecah menjadi tiga kelompok seperti Sanggah Pemerajan, Kawitan,dan Dewa Hyang dengan batas tembok penyengker, bahkan dengan hari piodalan dan pemangku Yang berbeda.
             Didalam Sanggah Dadia ini yang menjadi penganteb atau Pemangku ada tiga Pemangku menurut hasil “Nedunang Ida Bhatara”.
1. Pengempon Pemangku di Sanggah Pemrajan ini berfungsi untuk menjadi jembatan atau “ jan Bangul”  atau juru sapuh di Sanggah Pemrajan pesimpangan Bhatara sami rikala diadakan Piodalan.
2. Pengempon Pemangku ring Kawitan berfungsi untuk menghubungkan pemedek atau krama sane ngaturang bakti ketika mengadakan Piodalan di Kawitan.
3. Pemangku yang ngempon di sanggah Paibon berfungsi untuk menjadi jan bangul ketika ngaturang bakti disaat odalan Ida Bhatara Sami yang sudah di Istanakan di Paibon Sekepat sari.
2.6.  Tata Cara Memasuki  Sanggah Pamrajan Pasek Gelgel
Pura dan Sanggah Pamrajan adalah tempat suci oleh karena itu maka sebelum masuk hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Bersih lahir bathin; lahir: sudah mandi, pakaian bersih dengan tata cara pakaian yang wajar untuk bersembahyang; bathin: pikiran yang hening, tenang, tentram dan siap memusatkan pikiran untuk berbakti kepada Yang Maha Kuasa.
  2. Tidak dalam keadaan cuntaka, kecuali kematian dan perkawinan, boleh masuk ke Sanggah Pamrajan keluarga sendiri.
  3. Bayi yang belum diupacarai tiga bulanan tidak boleh masuk karena masih “leteh”.
  4. Wanita yang rambutnya diurai (“megambahan”) tidak boleh masuk karena rambut yang diurai menyiratkan: keasmaraan (birahi), marah, sedih, dan mempelajari ilmu hitam.
  5. Ibu yang sedang menyusui bayi boleh masuk dengan syarat tidak boleh menyusui bayi di dalam (jeroan) karena air susu Ibu yang menetes akan “ngeletehin” Pura dan Sanggah Pamrajan, di samping itu dipandang tidak sopan mengeluarkan buah dada.
  6. Mereka yang sedang sakit, baik sakit badan maupun sakit ingatan, atau yang terluka tidak boleh masuk karena dapat ngeletehin.
  7. Tidak dalam keadaan mabuk atau “fly”
Pintu/ Pemedal dibuat sempit, cukup untuk satu atau dua orang berbarengan, maksudnya agar masuk ke dalam Pura dan Sanggah Pamrajan secara tertib tidak terburu-buru. Setelah berada di dalam Pura dan Sanggah Pamrajan tata tertib yang perlu diperhatikan antara lain:
  1. Tidak melakukan perbuatan yang dapat mengganggu ketentraman bersembahyang.
  2. Tidak makan/ minum berlebih-lebihan
  3. Tidak membuang kotoran
  4. Tidak bertengkar/ berkelahi
  5. Tidak berbicara keras/ memaki, memfitnah atau membicarakan keburukan orang lain.
  6. Tidak bersedih, menangis/ meratap.
2.7.  Konsep Penyatuan Siva Siddantha
Pada Pelinggih Kamulan Tiga Sakti yang berfungsi untuk memuja Sang Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, dan Siva). Konsep penyatuan siva siddantha yang terlihat pada pelinggih Kamulan Tiga sakti ini, yaitu sekte saiwa, sekte brahma, dan sekte waisnawa. Kemudian pada Padmasari merupakan pemujaan Hyang Siwa Raditya yang diatasnya dibuat terbuka yang terdapat lukisan gambar Hyang Acintya. Ini merupakan konsep pemujaan kepada siwa yang bergelar Hyang Siwa Raditya. Dapat disimpulkan dalam konsep Padmasari merupakan mendapatkan pengaruh sekta siwa siddhanta. Selain itu juga terdapat sekte sora (surya) yang berada di pelinggih surya. Surya raditya adalah gelar dari dewa surya atas anugerah dari dang guru (dewa siwa).


BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pada pembahasan penulisan makalah ini maka dapat disimpulkan. Adapun kesimpulan itu adalah sebagai berikut :
1. Yang melatar belakangi berdirinya Sanggah Pemerajan Pasek Gelgel yakni karena adanya pawisik dari Hyang Kompiang atau Leluhur yang ada disana. Sanggah Pamrajan ini berdiri kurang lebih pada tahun 1950, dengan berdasarkan sebuah pawisik maka disertai dengan musyawarah mupakat didirikanlah Sanggah Pamrajan ini yang tempatnya terletak di Banjar Sekar Sari, Desa Selat. Awal mula orang yang nyungsung disana cuma 5 orang pengelingsir diantaranya : pengelingsir Mangku Toya, Pengelingsir Pan Sumiara, Pengelingsir Pan Mudarai, dan Pengelingsir Pan Sabda. Lambat laun berkembang dan berkembang hingga sekarang menjadi 50  kaka penyungsung.
2. Odalan  di dadia Merajan Pasek Gelgel menurut pawisik Ida Bhatara dilaksankan pada Redite Umanis wuku Menail, menurut Penguisik Ida Bhatara Odalan di Sanggah Jajaran dan di Kawitan dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan sekali. Dimana setiap 6 bulan pertama dilaksanakan odalan Ageng dan 6 bulan kemudiannya dilakukan odalan Alit. Odalan ring Paibon dilaksanakan menurut Panguisik Ida Bhatara sami agar Dilaksanakan pada rahina Budha Umanis JulungWangi odalan dilaksanakan dan odalan dilaksanakan 6 bulan sekali.
3. Konsep penyatuan ajaran Siva Siddantha terdapat pada  pelinggih Kamulan Tiga sakti  yaitu sekte saiwa, sekte brahma, dan sekte waisnawa. Kemudian pada Padmasari merupakan pemujaan Hyang Siwa Raditya yang diatasnya dibuat terbuka yang terdapat lukisan gambar Hyang Acintya. Ini merupakan konsep pemujaan kepada siwa yang bergelar Hyang Siwa Raditya. Dapat disimpulkan dalam konsep Padmasari merupakan mendapatkan pengaruh sekta siwa siddhanta. Selain itu juga terdapat sekte sora (surya) yang berada di pelinggih surya. Surya raditya adalah gelar dari dewa surya atas anugerah dari dang guru (dewa siwa).

3.2. Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan dalam tulisan ini, agar para pembaca dapat memberikan mengetahui keberadaan serta apa yang terdapat di dalam Merajan Pasek Gelgel yang terletak di banjar Sekar Sari, desa Selat. Selain itu di harapkan kedepannya kita selaku umat Hindu harus mengetahui silsilah/asal-usul diri melalui pengamatan yang di lakukan di Sanggah Merajan kita sendiri.
















Daftar Pustaka
Gunawan Pasek. 2012. Bahan Ajar Sivasiddhanta II.
Sara Sastra Gde. 2008. Bhujangga Waisnawa dan Sang Triniti. Pustaka Bali Post.
Wiana I Ketut. 2000. Arti Dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Paramita. Surabaya
Bpk Wayan Sudama (informan selaku ketua dadia)



Tidak ada komentar: