Selasa, 10 Desember 2013

ayo belajar PENGARUH CATUR ASRAMA DALAM PENDIDIKAN JAMAN SEKARANG 4



IMPLEMENTASI CATUR ASRAMA DALAM KEHIDUPAN MODERN


ABSTRAK

Penulisan ini menjelaskan tentang Catur Asrama Dalam Pendidikan Masa Sekarang. Terkait pada jaman modernisasi ini, umat mulai berpikir apakah masih relevankah ajaran mengenai Catur Asrama ini diterapkan dijaman sekarang. Tentu saja ya, bukan berarti jaman berganti ajaran Catur Asrama ditinggalkan tetapi harus disesuaikan dengan jaman dalam mengaplikasikannya. Itulah hal yang paling tepat dilaksanakan mengingat jaman ini adalah jaman Kaliyuga, dimana kebaikan 25 % dan kejahatan 75 %.
Catur Asrama adalah empat tahapan hidup dalam Agama Hindu. Dalam mencapai tujuan hidup yaitu Moksa, ada beberapa tahapan yang harus dijalani umat agar sesuai dengan swadharmanya masing-masing. Adapun bagian-bagiannya adalah (1) Brahmacari yaitu tahapan hidup menuntut ilmu (2) Grahasta yaitu tahapan hidup berumah tangga (3) Wanaprasta yaitu tahapan hidup mengasingkan diri ke hutan untuk tujuan lepas dari kehidupan duniawi dan (4) Bhiksuka yaitu tahapan hidup terakhir dalam tahapan melepaskan segala kehiduan duniawi, mengekang hawa nafsu dan indriya untuk dapat mencapai tujuan hidup yang terakhir yaitu Moksa. Bagian-bagian dari Catur Asrama ini, satu sama lainnya saling berkaitan. Selain itu, Catur Asrama juga ada hubungannya dengan Catur Purusa Artha, yang merupakan empat tujuan hidup manusia. Pada penulisan kali ini hanya akan dibahas mengenai Catur Asrama dalam Pendidikan Masa Sekarang.

I. Pendahuluan
Kehidupan merupakan susunan yang sangat sistematik dan tertib dalam Sanatana Dharma. Dari segi kegiatan manusia yang berbeda, ada kesempatan untuk mengembangkannya. Pekerjaan dan latihan yang tepat diberikan pada setiap masa kehidupan, karena kehidupan merupakan sebutan tempat belajar yang luas, tempat daya, kemampuan dan kecakapan manusia secara bertahap dikembangkan. Setiap orang harus melewati asrama yang berbeda secara teratur. Ia hendaknya tidak memasuki sesuatu tahapan hidup sebelum waktunya. Ia dapat memasuki tahapan berikutnya, hanya bila tiap-tiap tahapan sebelumnya telah diselesaikannya. Di alam, evolusi berjalan secara bertahap dan tidak secara revolusioner. Sama halnya dengan tahapan demi tahapan yang ada dalam Catur Asrama yang harus dilalui oleh manusia untuk mencapai tujuan akhir Agama Hindu yaitu “Moksartam Jagaditha”.
Empat Asrama atau tahapan dalam kehidupan, yaitu : Brahmacari (tahapan belajar atau masa menuntut ilmu pengetahuan), Grhastha (tahapan berumah tangga), Wanaprastha (tahapan penghuni hutan atau pertapa dan yang terakhir adalah Sannyasin (kehidupan penyangkalan atau bhiksuka). Setiap tahapan memiliki tugas sendiri-sendiri. Tahapan-tahapan ini membantu evolusi manusia. Empat Asrama menempatkan manusia pada kesempurnaan oleh masing-masing tahapan. Pelaksanaan dari Empat Asrama, mengatur kehidupan dari awal sampai akhir. Dua Asrama yang pertama menyinggung tentang Prawrtti Marga atau jalan kerja, dan tua tahapan berikutnya yaitu kehiduan Wanaprastha dan Sannyasa merupakan tahapan penarikan diri dari dunia luar. Mereka menyinggung kepada Niwrtti Marga atau jalan penyangkalan atau penolakan.
Wanaprastha dan Sannyasa Asrama, adalah tahapan hidup memasuki masa pension dan tahapan hidup mempersiapkan diri untuk melepaskan sang diri (Atman) dari belenggu kehidupan di dunia nyata ini. Dua tahap ini hanya ditujukan untuk mencapai Moksa sebagai tujuan akhir dari proses hidup ini. Saat Wanaprastha adalah tahapan hidup untuk membagi berbagai pengalaman hidup pada generasi penerus yaitu Brahmacari dan Grhastha Asrama. Dalam hal inilah berlaku semboyan pengalaman sebagai guru terbaik. Sukses dan gagal dalam hidupnya saat Brahmacari dan Grhastha seyogyanya menjadi bahan pelajaran untuk ditelaah oleh generasi selanjutnya.
Pengalaman yang sukses dan gagal itu sebagai suatu bahan pelajaran yang sangat berharga sebagai suatu pebandingan bagi generasi berikutnya. Tentunya dengan kajian-kajian mendalam. Karena situasi dan kondisi jaman sebelumnya dan jaman selanjutnya tidak sama. Cara sukses pada masa yang lalu tentunya tidak selamanya bisa diterapkan pada jaman selanjutnya. Demikian juga kegagalan yang pernah dialami jangan sampai terulang oleh generasi selanjutnya.
II. Pembahasan
2.1 Pengertian dan Pembagian Catur Asrama
Catur Asrama artinya empat lapangan atau lapisan hidup manusia sebagai tempat menimba pendidikan spiritual dan kehidupan material. Dalam pustaka Silakrama (dalam Subagiasta, 2007 :7), ada dijelaskan mengenai ajaran etika pendidikan agama Hindu mengenai Catur asrama. Pembagian Catur asrama adalah Brahmacari asrama, Grhastha asrama, Wanaprastha asrama, dan bhiksuka/sanyasin asrama.
Adapun pengertian masing-masing pembagian Catur Asrama menurut Supeksa (2011), yaitu :
2.1.1 Brahmacari
Brahmacari berasal dari 2 kata , brahma dan cari . Brahma artinya ilmu pengetahuan suci dan Cari ( car ) yang artinya bergerak. Jadr brahmacari artinya bergerak di dalam kehidupan menuntut ilmu pengetahuan ( masa menuntut ilmu pengetahuan ). Dalam kitab Nitisastra II, 1 masa menuntut ilmu pengetahuan adalah maksimal 20 tahun, dan seterusnya hendaknya kawin untuk mempertahankan keturunan dan generasi berikutnya.
Brahmacari juga dikenal dengan istilah ” Asewaka guru / aguron-guron ” yang artinya guru membimbing siswanya dengan petunjuk kerohanian untuk memupuk ketajaman otak yang disebut dengan ” Oya sakti ” . Dalam masa brahmacari ini siswa dilarang mengumbar hawa nafsu sex ,karena akan mempengaruhi ketajaman otak. Untuk masa menuntut ilmu, tidak ada batasnya umur, mengingat ilmu terus berkembang mengikuti waktu dan zaman . Maka pendidikan dilakukan seumur hidup.
Dalam kitab Silakrama (dalam Supeksa, 2011), pendidikan seumur hidup dapat dibedakan menurut perilaku seksual dengan masa brahmacari. Dengan brahmacari dapat dibedakan menjadi 3 bagian, antara lain :
2.1.1.1 Sukla brahmacari artinya tidak kawin selama hidupnya . Contoh orang yang melaksanakan sukla brahmacari . Laksmana dalam cerita ramayana, bhisma dalam mahabarata, jarat karu dalam cerita adi parwa.
2.1.1.2 Sewala brahmacari artinya kawin hanya rekali dalam hidupnya walau apapun yang terjadi.
2.1.1.3 Tresna ( kresna brahmacari ) artinya kawin yang lebih dari satu kali , maksimal empat kali. Perkawinan ini diperbolehkan apabila istri tidak melahirkan atau istri tidak bisa melaksanakan tugas sebagai mana mestinya.
2.1.2 Grahasta
Grahasta merupakan jenjang yang kedua yaitu kehidupan pada waktu membina rumah tangga ( dari mulai kawin ). Kata Grahasta berasal dari dua kata. Grha artinya rumah, stha artinya berdiri. Jadi Grahasta artinya berdiri membentuk rumah tangga. Dalam berumah tangga ini harus mampu seiring dan sejalan untuk membina hubungan atas darar saling cinta mencintai dan ketulusan.
2.1.3 Wanaprasta
Wanaprasta terdiri dari dua kata yaitu ” wana ” yang artinya pohon, kayu, hutan, semak belukar dan ” prasta ” yang artinya berjalan, berdoa. Jadi wanaprasta artinya hidup menghasingkan diri ke dalam hutan. Mulai mengurangi hawa nafsu bahkan melepaskan diri dari ikatan duniawi.
2.1.4 Bhiksuka ( Sanyasin )
Kata bhiksuka berasal dari kata biksu yang merupakan sebutan pendeta Buda. Biksu artinya meminta-minta. Masa bhiksuka ialah tingkat kehidupan yang dilepaskan terutama ikatan duniawi, hanya mengabdikan diri kepada Tuhan ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa ).


2.2 Catur Asrama Konsep Hubungan Antar Generasi
Hubungan harmonis dalam kebersamaan itu terdiri dari unsur-unsur yang berbeda, tetapi perbedaan itu adalah perbedaan yang komplementatif. Artinya perbedaan yang dapat membangun hubungan harmonis dinamis dan sinergis adalah perbedaan yang saling lengkap melengkapi. Seperti nasi dan lauk pauknya. Nasi berbeda dengan lauk pauknya, tetapi tanpa nasi lauk pauknya itu tidak banyak manfaatnya dan nasi tidak enak kalau tanpa lauk pauk. Demikianlah perbedaan yang saling lengkap melengkapi itu.
Catur Asrama adalah konsep Hindu yang menjadi dasar hubungan antar generasi. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian depan buku ini bahwa Catur Asrama ini adalah konsep hidup untuk mensukseskan empat tujuan hidup yang disebut Catur Purusha Artha. Catur Asrama sebagai tahapan hidup untuk mensukseskan empat tujuan hidup secara bertahap pula. Dari tahapan hidup ini menyebabkan Catur Asrama sebagai konsep pembentukan generasi. Ada generasi Brahmacari Asrama, ada generasi Grhastha Asrama, ada generasi Wanaprastha Asrama dan ada generasi Sannyasin Asrama. Masing-masing Asrama memiliki Swadharma yang berbeda-beda dalam mensukseskan empat tujuan hidup tersebut. Perbedaan swadharma inilah yang menjadi dasar terjadinya hubungan yang saling lengkap melengkapi antar satu Asrama dengan Asrama yang lainnya. Brahmacari Asrama tidak akan sukses tanpa Grhastha Asrama. Demikian juga sebaliknya Grhastha Asrama dianggap gagal kalau Brahmacari Asrama yang dibinanya gagal mewujudkan swadharmanya sebagai Brahmacarin. Karena Grhastha Asrama swadharma utamanya melahirkan, memelihara dan mendidik Brahmacari yang menjadi tanggung jawabnya.
Asrama yg paling strategis posisinya menentukan keharmonisan antar Asrama dalam Catur asrama adalah Grahasta Asrama. Karena Grahasta Asrama ini merupakan posisi yang punya tanggung jawab berat mensukseskan swadharma Brahmacari Asrama. Karena kalau Brahmacari Asrama itu sukses melakukan swadharmanya maka Asrama berikutnya akan lebih mudah melaksanakan. Kalau dalam Brahmacari Asrama seseorang gagal dalam mewujudkan swadharmanya, maka kesulitan demi kesulitan akan menghadang dalam Asrama berikutnya. Swadharma Brahmacari Asrama menurut Athavaveda XI. 5. 1 adalah mengupayakan untuk mengikuti semua sifat-sifat Devata. Maksudnya seorang Brahmacari menjadikan dirinya seorang yang religius. Sifat religius tersebut memang menjadikan dasar membangundiriyang berkwalitas. Karena itu dalam Atharvaveda XI. 5. 17 dinyatakan seorang Raja akan sukses melindugi bangsanya kalau saat Brahmacari ia berhasil mewujudkan Swadarmanya. Demikian juga seorang Guru atau Acarya akan sukses menjalakan swadarmanya sebagai pendidik kalau saat sebagai Brahmacari ia sukses menjadi Brahmacari yang baik.
Brahmacari ngarania sang mangabiasa sang hyang sastra tur sang wruh ring kalingganing sang aksara.
Artinya : Brahmacari namanya orang yang telah menjadikan belajar sebagai tradisi hidupnya untuk memahami ilmu pengetahuan suci dan yang paham akan hakekat pemakaian aksara. (Agastya Parwa)
Ini artinya seorang Brahmacari adalah orang yang sudah berhasil menjadikan kegiatan belajar itu sebagai kebiasaan atau tradisi. Kalau belajar itu sudah mentradisi dalam kehidupan sehari-hari dan paham menggunakan aksara, mereka itulah yang dapat disebut Brahmacari.Suksesnya seorang Brahmacari umumnya sangat tergantung dari swadarma mereka yang berposisi sebagai Grhastha yang bertanggung jawab pada Brahmacari bersangkutan. Jadinya Brahmacari dan Grhastha itu harus saling berhubungan yang sifatnya timbal balik sesuai swadarma masing-masing. Misalnya Brahmacari memiliki kewajiban untuk berbhakti pada orang tuanya. Kalau ia berbhakti pada orang tuanya dijanjikan akan memperoleh empat pahala yaitu Kirti, Bala, Yusa dan Yasa. Hal ini dinyatakan dalam Sarasamuccaya 250. Kirti itu pekerjaan yang memberikan kemakmuran, Bala itu kekuatan lahir batin, Yusa itu maksudnya berumur panjang dan Yasa mampu berbuat jasa dalam hidupnya ini. Kalau seorang Brahmacari dapat dengan sungguh-sungguh berbhakti pada orang tuanya yang tergolong Grhastha Asrama maka Brahmacari tersebut akan mendapatkan empat pahala mulia tersebut. Demikian juga dalam Manawa Dharmasastra II. 23 menyatakan bahwa seorang putra yang masih tergolong Brahmacari berbhakti pada ibunya ia akan memperoleh pahala kebahagiaan di bumi ini, dengan berbhakti pada ayahnya ia akan memperoleh pahala mulia di bhuwah loka. Kalau berbhakti pada gurunya (Acarya) ia akan mencapai Brahma Loka. Selanjutnya dalam kitab yang sama pada sloka 234 menyatakan bahwa semua kewajibannya akan dapat dilakukan dengan teratur bagi anak (Brahmacari) yang dapat berbhakti dengan baik pada ibu, ayah dan gurunya. Yajna akan sia-sia bagi Brahmacari yang tidak berbhakti pada ibu, ayah dan gurunya.
2.3 Catur Asrama Dalam Pendidikan Jaman Sekarang
Tujuan hidup menurut ajaran Hindu sebagaimana dinyatakan dalam Brahma Purana adalah untuk mencapai dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup tersebut harus dicapai secara bertahap, melalui sistem sosial yang disebut asrama yakni brahmacari, Grahasta, wanaprasta dan bhiksuka atau sanyasin. Pada tahapan hidup brahmacari tujuan hidup lebih diutamakan pada pencapaian dharma, dalam hal ini pencarian atau penguasaan ilmu pengetahuan dan iptek. Berbeda halnya pada jenjang grehastha asrama yang lebih memprioritaskan pada pencapaian artha dan kama. Berbeda pula dalam tahapan hidup wanaprastha dan bhiksuka asrama. Pada jenjang wanaprastha dan bhiksuka, umat mempersiapkan diri untuk mencapai kelepasan dengan ikatan duniawi. Dalam konteks kekinian, masih relevankah konsep Catur Asrama ini, itulah yang menjadi pertanyaan kita sebagai generasi muda Hindu.
Spirit Catur asrama sesungguhnya masih tetap penting dimaknai dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang. Artinya, dalam kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh berbagai perubahan, spirit nilai yang dikandung dalam konsep tersebut menjadi penting dipedomani. Dalam tahapan hidup brahmacari, misalnya, generasi muda Hindu memang sudah seharusnya berkonsentrasi penuh untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan berbagai keterampilan diharapkan dapat dijadikan bekal dalam mengarungi hidup berumah tangga (Grahasta). Dalam tahapan sedang menuntut ilmu, hal-hal yang seharusnya baru bisa dilakukan saat Grahasta hendaknya dihindari, seperti hubungan suami-istri.
Tugas seorang brahmacari adalah belajar, menuntut ilmu setinggi-tingginya. Hubungan seks baru boleh dilakukan manakala seseorang sudah menginjak masa Grahasta (berumah tangga). Hubungan seks yang benar dalam masa Grahasta adalah untuk memperoleh keturunan yang suputra. Sementara pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi peningkatan mutu SDM. Bagaimana bisa bersaing jika SDM Hindu tidak berkualitas. Melalui pendidikanlah kualitas diri bisa ditingkatkan. Pada saat brahmacari-lah ilmu pengetahuan mesti digali sebanyak-banyaknya. Tetapi bukan berarti belajar berhenti pada masa brahmacari. Belajar tetap sepanjang hayat.
Menurut Budi Utama (dalam Bali Post Online, 2005), pendidikan menjadi sesuatu yang penting dalam Hindu, sehingga anak yang dilahirkan menjadi generasi yang suputra. Bahkan, proses pendidikan (pendidikan prenatal) itu sudah berlangsung saat terjadi pembuahan. Maka, dalam ritual Hindu dikenal istilah magedong-gedongan. Selama masa kehamilan, dalam teologi Hindu ada sesuatu yang bisa dipedomani, misalnya si ibu tidak boleh dibuat terkejut dan sebagainya. Ketika lahir, ada tahapan-tahapan perlakukan terhadap anak-anak. Kapan ia diperlakukan sebagai raja --semua kemauannya dituruti. Kapan ia diperlakukan sebagai ''budak'', bisa disuruh untuk mengerjakan sesuatu, dan kapan ia dijadikan sebagai teman. Umumnya, ketika anak-anak menginjak usia remaja orangtua memperlakukannya sebagai teman. Berbagai kesulitan yang dialami, dicarikan jalan pemecahannya.
Jadi pada masa brahmacari itulah, kata Budi Utama, kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) saatnya dikembangkan. Dalam hal ini orangtua sangat besar perannya dalam pengembangan semua kecerdasan itu. Terutama kecerdasan spiritual, orangtua memiliki peran yang strategis dalam mengembangkannya. Karena itu, di rumah, anak-anak mesti dilibatkan pada hal-hal yang bersifat spiritual seperti dalam pembuatan bahan-bahan ritual sehingga SQ-nya berkembang dengan baik.
Dalam masa brahmacari, semua kecerdasan hendaknya dikembangkan secara seimbang, sehingga anak-anak menjadi generasi yang utuh. Lagi pula, keberhasilan anak-anak dalam melakoni hidupnya kemudian (masa Grahasta) tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual. Dua kecerdasan lainnya yakni EQ dan SQ, juga besar perannya. Sementara pada masa brahmacari, umat lebih fokus pada pencarian artha dan kama. Namun, dalam pencarian artha dan kama itu dasarnya tetap dharma. Pencarian artha itu selain untuk melangsungkan kehidupan, juga untuk membiayai pendidikan anak-anak, selain didana-puniakan dan disisihkan untuk kepentingan yadnya.
Memasuki masa Grahasta, misalnya, dengan berbekal ilmu dan keterampilan yang memadai, seseorang mendapat profesi menjanjikan dan atau mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Melalui media itu umat dapat mencari artha dan kama. Namun, ingat dalam pencarian artha dan kama, dharma-lah yang tetap menjadi landasannya.Menapaki kehidupan wanaprasta dalam konteks kekinian tentu tidak harus menyepikan diri ke hutan. Tetapi, di tengah kehidupan yang penuh dengan ingar-bingar ini, umat diharapkan mampu menyepikan diri dari gejolak hawa nafsu.
Selain itu pada saat ini, asrama tak dapat dihidupkan secara tepat sesuai dengan rincian aturan kuno, karena kondisinya telah banyak sekali berubah tetapi dapat dihidupkan kembali dalam semangatnya terhadap kemajuan yang besar dari kehidupan modern. Pada tahapan ini tak seorang pun harus tugas orang lain. Siswa atau Brahmacari hendaknya tidak melakukan tugas seorang rumah tangga pertapa ataupun sannyasa. Kepala rumah tangga hendaknya tidak melakukan tugas seorang Brahmana, wanaprastha atau sannyasin. Seorang sannyasin hendaknya tidak lagi mencari kenikmatan dari kepala rumah tangga.
Kedamaian dan aturan akan berlaku dalam masyarakat, hanya apabila semua melaksanakan kewajiban masing-masing secara efektif. Penghapusan warna dan asrama akan memotong akar dari kewajiban social masyarakat. Bagaimana bangsa dapat mengharapkan untuk hidup bila warnasrama dharma tidak dilaksanakan secara tegar. Murid-murid sekolah dan perguruan tinggi seharusnya menjalani suatukehidupan yang murni dan sederhana. Kepala rumah tangga seharusnya menjalani kehidupan sebuah Grahasta yang ideal. Ia seharusnya melaksanakan pengendalian diri, welas asih, toleransi, tidak merugikan, berlaku jujur, dan kewajaran dalam segala hal. Mereka yang mengalami kesulitan menjalani kehidupan tahap ketiga dan tahap keempat dari asrama ini, hendaknya tetap pada dua asrama lainnya secara bertahap menarik dunianya dari kehidupan duniawi dan melakukan pelayanan tanpa pamrih, belajar dan bermeditasi.
Catur Asrama dalam era pendidikan modern sangat relevan oleh karena sang pelajar dituntut disiplin dalam menimba segala pengetahuan. Jika tidak, maka gagallah pelajar itu untuk meraih cita-citanya, tidak hanya itu sang pelajar juga dituntut disiplin dalam percintaan. Semasa belajar dilarang untuk melakukan hubungan seks (sukla Brahmacari). Jadi intinya bahwa pada masa belajar hanya aturan aguron-guron yang wajib ditaati. Sedangkan yang lainnya dikesampingkan, tujuannya agar tercapai kemantapan ilmu kerohanian dan ilmu lainnya sesuai yang diarahkan dalam masa belajar. (Subagiasta, 2006 :68).
Brahmacari merupakan jenjang atau tahapan awal untuk menumbuhkan karakter seseorang. Brahmacari dalam kehidupan sekarang dapat dilihat dari pendidikan formal dimulai dari pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai pada Perguruan Tinggi, sedangkan pendidikan nonformal dimulai dari lingkungan keluarga dan masyarakat misalnya diadakannya pasraman-pasraman. Selain itu, pada jaman modern sekarang tidak adanya batasan-batasan tertentu dalam masa menuntut ilmu pengetahuan (Brahmacari), pendidikan bisa dilakukan seumur hidup selama orang itu mau dan mampu menuntut ilmu. Menuntut ilmu juga sebagai bekal dalam kehidupan masa mendatang seperti masa Grahasta yaitu masa berumah tangga. Pada kehidupan inilah kita sebagai seorang Grahasta dituntut untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang kita pelajari pada masa Brahmacari agar kesulitan-kesulitan dalam kehidupan masa berumah tangga ini dapat disiasati dengan baik. Menginjak pada masa Wanaprasta pada jaman sekarang, tidak dapat dilakukan dengan mengasingkan diri kedalam hutan seperti pada jaman dahulu. Tetapi dapat dilakukan dengan jalan melaksanakan swadharma sebagai anggota masyarakat yang baik. Terakhir, dalam masa bhiksuka kita dituntut untuk dapat mengekang hawa nafsu dan lepas dari ikatan duniawi seperti menundukkan segala nafsu-nafsu yang ada dalam diri manusia.

III. Penutup
Demikianlah Catur Asrama yang merupakan empat tingkatan hidup yang bersifat formal dan tidak kaku dalam penerapannya da;am kehidupan sehari-hari. Dharma adalah dasar untuk mendapatkan artha, kama dan moksha. Tetapi sebaliknya, tanpa dharma artha, kama dan moksha, dharmapun tidak bisa dijalankan dengan sempurna. Tidak ada swadarma (kewajiban) atau kebanaran yang dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa artha dan kama. Misalnya menuntut ilmu pengetahuan ataupun berdana punia adalah perbuatan dhara tetapi kesemuanya itu baru dapat dilakukan kalau ada artha dan kama (keinginan atau semangat). Demikian pula Moksha yang berasal dari bahsa sansekerta dari urat kata : mucch artinya bebas tanpa ikatan. Kebebsan tersebut adalah kenyataan yang setiap saat diperjuangkan oleh manusia. Untuk mendapatkan kebebasan yang paling ideal, mebutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dan bertahap.
Brahmacari merupakan jenjang atau tahapan awal untuk menumbuhkan karakter seseorang. Brahmacari dalam kehidupan sekarang dapat dilihat dari pendidikan formal dimulai dari pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai pada Perguruan Tinggi, sedangkan pendidikan nonformal dimulai dari lingkungan keluarga dan masyarakat misalnya diadakannya pasraman-pasraman. Selain itu, pada jaman modern sekarang tidak adanya batasan-batasan tertentu dalam masa menuntut ilmu pengetahuan (Brahmacari), pendidikan bisa dilakukan seumur hidup selama orang itu mau dan mampu menuntut ilmu. Menuntut ilmu juga sebagai bekal dalam kehidupan masa mendatang seperti masa Grahasta yaitu masa berumah tangga. Pada kehidupan inilah kita sebagai seorang Grahasta dituntut untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang kita pelajari pada masa Brahmacari agar kesulitan-kesulitan dalam kehidupan masa berumah tangga ini dapat disiasati dengan baik. Menginjak pada masa Wanaprasta pada jaman sekarang, tidak dapat dilakukan dengan mengasingkan diri kedalam hutan seperti pada jaman dahulu. Tetapi dapat dilakukan dengan jalan melaksanakan swadharma sebagai anggota masyarakat yang baik. Terakhir, dalam masa bhiksuka kita dituntut untuk dapat mengekang hawa nafsu dan lepas dari ikatan duniawi seperti menundukkan segala nafsu-nafsu yang ada dalam diri manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Bali Post Online. 2005. ''Catur Asrama'' dalam Konteks Kekinian
Kejarlah Ilmu, ''Sepikan'' Diri dari Gejolak Hawa Nafsu. Tersedia pada http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/30/bd1.htm. Diakses pada tanggal 1 Desember 2013
Ngurah, I Gusti Made, dkk. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya : Paramita
Sivananda, Swami. 1997. Intisari Ajaran Konsep Hindu. Surabaya : Paramita
Subagiasta. 2006. Teologi, Filsafat, Etika dan Ritual. Surabaya : Paramita
_________. 2007. Etika Pendidikan Agama Hindu. Surabaya : Paramita
Supeksa, Ketut. 2011. Catur Asrama Dalam Agama Hindu. Tersedia pada http://supeksa.wordpress.com/2011/02/26/catur-asrama-dalam-agama-hindu/. Diakses pada tanggal 1 Desember 2013
Wiana. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya : Paramita








Tidak ada komentar: