SIVA SIDDHANTA 1
SIVA SIDDHANTA DI INDIA
IHDN Denpasar
Oleh :
Kelompok 1 PAH A Semester 4
Jurusan
Pendidikan Agama Hindu
Fakultas
Dharma Acarya
Institut
Hindu Dharma Negeri Denpasar
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadapan Ida Sang Widi Wasa, karena atas asung kerta wara nugraha-Nya penulis
dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Siva Siddhanta di India ”
dengan tepat waktu.
Makalah ini penulis susun dalam
rangka tugas kelompok yang pertama dari mata kuliah Siva Siddhanta 1, semester
genap yang dalam pengerjaannya dilakukan
secara berkelompok.
Namun penulis sangat menyadari
bahwasannya makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan dan kemungkinan masih
banyak kekurangan dan kesalahan pada penulisannya oleh sebab itu penulis sangat
mengharapkan saran maupun kritik yang sifatnya konstruktif dari pembaca
khususnya Bapak Dosen beserta rekan-rekan mahasiswa demi perbaikan kualitas
makalah yang penulis susun kembali di masa mendatang. Tidak lupa penulis
ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan konstribusinya
terhadap proses pengerjaan makalah ini sehingga selesai tepat pada waktunya.
Penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua kalangan masyarakat dalam menambah wawasan dan
pengetahuan bagi pembaca sekalian. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.
Singaraja, Maret 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL i
KATA
PENGANTAR ii
DAFTAR
ISI iii
BAB
I. PENDAHULUAN 1
1.1.Latar
Belakang 1
1.2.Rumusan
Masalah 2
1.3.Tujuan
Penulisan 2
BAB
II. PEMBAHASAN 3
2.1. Sejarah Perkembangan Agama
Hindu di India 3
2.2.
Saiva Siddhanta 4
2.3.Saiva Siddhanta di India 8
2.3.1. Sumber Ajarannya 8
2.3.2. Ajarannya 8
2.3.3. Tempat Pemujaannya 9
2.3.4. Penerapan Saiva Siddhanta di
India 9
2.3.5. Pengikutnya 11
2.3.6. Hari Sucinya 12
2.3.7. Orang Sucinya 14
BAB
III. PENUTUP 16
3.1. Simpulan 16
3.2. Saran 17
DAFTAR
PUSTAKA 18
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Agama Hindu
merupakan agama tertua diantara sekian banyak agama yang ada dianut oleh
manusia. Sejarah perkembangan agama Hindu sangatlah penting diketahui untuk
memahami jejak awal hingga kini mengenai keberadaan agama Hindu yang dianut
oleh umat manusia di dunia. Memang sangat sulit untuk menyatakan secara tegas
awal pertama dan tempat dimulainya pertumbuhan Agama Hindu. Nama Agama Hindu
atau Hindu Dharma ini sedemikian rupa berkembang dan bahkan diberikan oleh
orang-orang barat yang datang ke India. Di India perkembangan agama Hindu itu
dapat dipilah menjadi empat jaman ( yuga ) yakni : pertama, jaman Weda, kedua,
jaman Brahmana, ketiga, jaman Upanisad, dan keempat, jaman Tantrayana.
Bila berbicara
tentang perkembangan ataupun sejarah perkembangan Agama Hindu maka hal itu juga
berhubungan dengan perkembangan filsafat-filsafat timur salah satunya adalah
ajaran Saiva Siddhanta. Saiva Siddhanta adalah filsafat dari Saivaisme bagian
selatan, yang bersumber tidak dari penyusun tunggal, yang merupakan jalan
tengah antara adwaitanya Sankara dan Wasista-adwaitanya Ramanuja. Sistim
filsafat Saiva Siddhanta merupakan intisari saringan dari Wedanta. Ia
berkembang di India Selatan, bahkan pada waktu sebelum jaman Kristen.
Tirunelweli dan Madirai adalah pusat-pusat aliran Saiva Siddhanta. Bahkan
sekarang ini, Saiwisme merupakan aliran filsafat yang sangat popular di India.
Ajaran pokok
dari filsafat Saiva Siddhanta adalah bahwa Siwa merupakan realitas tertinggi
dan jiwa atau roh pribadi adalah dari intisari yang sama dengan Siwa, tetapi
tidak identik. Sebenarnya perjalanan atau perkembangan Saiva Siddhanta ini
bermula dari India. Nah, untuk lebih
jelasnya maka disusunlah makalah yang berjudul “ Saiva Siddhanta di India”.
1.2.Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dari penyusunan makalah ini, yaitu:
1.2.1. Bagaimana sejarah
perkembangan Agama Hindu khususnya di India ?
1.2.2. Apa itu Saiva Siddhanta dan
bagaimana pemahamannya ?
1.2.3. Bagaimana perkembangan Saiva
Siddhanta di India ?
1.3.Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penyusunan makalah ini, yaitu:
1.3.1. Untuk mengetahui sejarah
perkembangan Agama Hindu khususnya di India.
1.3.2. Untuk mengetahui Saiva
Siddhanta dan pemahamannya.
1.3.3. Untuk mengetahui
bagaimana perkembangan Saiva Siddhanta
di India.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Sejarah Perkembangan Agama Hindu di India
Mengenai
perkembangan agama Hindu di India dapat di pilah menjadi empat jaman (yuga)
yakni: pertama jaman Weda, kedua jaman Brahmana, ketiga jaman Upanisad, dan
keempat jaman Tantrayana. Dari masing-masing jaman tersebut memiliki kekhasan
tersendiri, terutama dalam penonjolan aktifitas religiusnya. Jaman Weda ini
dimulai dengan kedatangan bangsa Arya kira-kira 5000 SM tahun yang lalu,
didaerah hulu sungai Sindhu yang terkenal dengan nama Panjab (lima sungai).
Bangsa Arya itu yang termasuk induk bangsa Indo Eropa, mula-mula adalah bangsa
pengembara. Dari tempat mereka terakhir di daerah Asia Tengah, sebagian dari
mereka masuk dan menetap di dataran tinggi Iran, dan sebagian lagi di Panjab.
Pada waktu itu di sepanjang lembah sungai Sindhu terdapat suatu peradaban
bangsa Dravida yang sudah tinggi sekali tingkatannya. Peradaban ini berpusat di
kota-kota yang diperkuat dengan benteng antara lain Mahenjodaro dan Harappa
(Ardhana, 2002:9). Pada jaman Weda ini bahwa kegiatan keagamaan ditandai dengan
pemujaan kepada dewa-dewa yang mengacu sumber catur weda saamhita seperti
rgveda yang memuat mantra-mantra suci, samaveda yang memuat mantra serta lagu suci agama Hindu,
yajurveda yang memuat mantra untuk
pelaksanaan persembahan atau yajna, dan
atharvaveda yang memuat mantra gaib
untuk memohon kerahayuan umat manusia. Jadi jaman weda ini diperkirakan sekitar
2500 SM telah berkembang agama Hindu di India.
Selanjutnya
ada jaman berikutnya adalah jaman Brahmana. Bagaimana keberadaan agama Hindu
pada jaman Brahmana tersebut? Brahmana adalah kitab suci yang menguraikan
masalah yajna atau sesaji dan upacara-upacaranya, yang meliputi arti dari suatu
sesaji atau yajna serta tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan
sebagainya. Tiap-tiap yajna ditetapkan dengan cermat sekali menurut
peraturan-peraturannnya. Menyimpang sedikit saja dari peraturan-peraturan itu
berarti batalnya, tidak sahnya yajna itu (Ardhana, 2002: 11-12). Jaman
ini ada beberapa sumber pedoman yang ada bernama pustaka Kalpasutra berisi
tuntunan upacara yajna yang begitu rumit, kemudian ada pustaka Ghryasutra
berisi tuntuna yajna yang kecil dalam lingkungan keluarga, sedangkan tuntunan
yajna yang tergolong besar diatur dalam pustaka srautasutra. Dalam srautasutra
ada diatur mengenai upacara rajasuya dan upacara asvamedha yajna. Jaman ini
diperkirakan keberadaannya pda tahun 1000 SM.
Selanjutnya
pada jaman upanisad yang menitikberatkan aktifitas keagamaan pada spiritual
atau rohani. Kata upanisad berarti duduk dibawah dekat kaki guru, untuk
mendengarkan upadesa atau ajaran mengenai Brahman, samsara, swarganaraka, dan
moksha. Upadesa dari sang guru mengandung ajaraan-ajaran yang bersifat ilmiah
dan karena itu upanisad merupakan ilmu pengetahuan suci (jnana) yang dapat
membuka mata hati pembacanya dalam membuka misteri kehidupan alam semesta ini.
upanisad disebut juga kitab rahasia karena isinya mengajarkan tentang hal-hal yang
bersifat dan hakikat Brahman Upanisad inilah yang memuat berbagai ajaran yang
membahas ajaran ketuhanan (brahmawidya) yang merupakan dasar kehidupan beragama
Hindu (Ardhana, 2002: 13-14). Jaman upanisad ini diperkirakan keberadaaannya
sekitar tahun 800 SM. Sedangkan jaman yang terakhir adalah jaman Tantrayana
sekitar tahun 600 SM. Dalam Tantrayana aspek yang menonjol adalah konsep
teologinya yang melihat dari segi peranan sakti. Manusia mendambakan kesaktian
yang ada pada Sang Hyang Widhi dan berharap supaya kesaktian-Nya itu diberikan
kepada manusia sehingga dengan demikian dapat memiliki apa yang ada pada
Brahman itu (Ardhana, 2002:16). Tantrayana berorientasi kepada Siva dan karena
itu sekte ini dikenal pula sebagai sekte Siva. Dalam sekte siva ini, nama siva
selalu disebut-sebut sebagai ista dewatadengan seribu nama (siwa sahasra nama)
antara lain, Siwa, Hara,Rudra,
Puspalocana, Sambhu, Maheswara, Trilocana, Wamadewa, Wiswarupa, Ganeswara,
Pasupati, Tejomaya, Sadasiwa,Dhurga, Mahakala, Dhneswara, Padmagarbha, dan
selanjutnya banyak sekali sampai seribu (Ardhana, 2002:17-18). Jaman ini
bersumber pada Weda atau Agama atau Tantra yang sesungguhnya tidak dapat
dipisah-pisahkan begitu rupa mengingat Tantranya bersumber pada Weda, seperti
jaman Kertayuga bersumber pada Sruti, tretayuga bersumber pada Smrti,
dwaparayuga bersumber pada purana, dan kaliyuga bersumber pada agama atau
tantra. Dalam menyelenggarakan upakara yajna termasuk samskara ada beberapa
alat peraga yang sering dipakai dhupa, dhipa, puspa, gand aksata, tirtha, dan
mantra (Ardhana, 2002;19).
2.2.
Saiva Siddhanta
Saiva Siddhanta adalah Saivite tertua,
paling kuat dan secara luas dipraktekkan Hindu sekolah hari ini, meliputi
jutaan penggemar, ribuan candi aktif dan puluhan tradisi monastik dan hidup
asketis. Meskipun popularitasnya, masa lalu yang mulia Siddhanta sebagai sebuah
denominasi semua-India relatif tidak dikenal dan diidentifikasi hari ini
terutama dengan perusahaan India Selatan, Tamil bentuk. Para Saiva Siddhanta
istilah berarti "kesimpulan akhir atau mapan Saivism." Ini adalah
teologi formal dari wahyu ilahi yang terkandung dalam dua puluh delapan Agamas
Saiva. Guru pertama yang diketahui dari Shuddha, "murni," adalah
tradisi Saiva Siddhanta Maharishi Nandinatha Kashmir (ca 250 sM), dicatat dalam
buku tata bahasa Panini sebagai guru resi Patanjali, Vyaghrapada dan Vasishtha.
Karya ditulis hanya bertahan dari Nandinatha Maharishi adalah dua puluh enam
bahasa Sansekerta ayat, yang disebut Kashika Nandikeshvara, di mana ia dipindahkan
ajaran kuno. Karena pendekatan monistik nya, Nandinatha sering dianggap oleh
para sarjana sebagai eksponen dari sekolah Advaita. Guru terkemuka pada catatan
berikutnya adalah Resi Tirumular, seorang siddha di garis Nandinatha yang
datang dari Lembah Kashmir India Selatan untuk mengajukan ajaran suci dari dua
puluh delapan Agamas Saiva. Dalam karya yang mendalam Tirumantiram, taruh
"Kudus Incantation," Tirumular untuk pertama kalinya tulisan-tulisan
besar dari Agamas dan Shuddha filsafat Siddhanta ke dalam bahasa Tamil manis.
Tirumular Rishi, seperti, Nandinatha Satguru nya Maharishi, mengemukanakan
teisme monistik di mana Siva adalah baik material dan penyebab efisien, imanen
dan transenden. Siva menciptakan jiwa-jiwa dan dunia melalui emanasi dari diri-Nya,
akhirnya reabsorbing mereka dalam samudera Makhluk-Nya, karena air mengalir ke
dalam air, api ke dalam api, eter ke dalam eter. Tirumantiram terungkap cara
Siddhanta sebagai jalan, progresif empat kali lipat dari charya, hidup berbudi
luhur dan moral; kriya, kuil penyembahan, dan yoga-diinternalisasi ibadah dan
persatuan dengan Parasiva melalui kasih karunia yang hidup Satguru-yang
mengarah kepada negara dari jnana dan pembebasan. Setelah pembebasan, tubuh
jiwa terus berkembang sampai sepenuhnya menyatu dengan Tuhan-jiva menjadi Siwa.
Tirumular yang Shuddha Saiva Siddhanta saham akar jauh umum dengan
Mahasiddhayogi Gorakshanatha yang Siddha Siddhanta di bahwa keduanya silsilah
ajaran Natha. Tirumular garis keturunan yang dikenal sebagai Sampradaya Nandinatha,
yang Gorakshanatha disebut Sampradaya adinatha. Saiva Siddhanta berbunga di
India Selatan sebagai gerakan bhakti kuat diresapi dengan wawasan tentang yoga
siddha.
Selama abad ketujuh sampai kesembilan,
orang-orang kudus Sambandar, Appar dan Sundarar pilgrimaged dari kuil ke kuil,
bernyanyi soulfully kebesaran Siwa. Mereka berperan dalam berhasil
mempertahankan Saivism terhadap ancaman dari Buddhisme dan Jainisme. Tak lama
kemudian, seorang raja Perdana Menteri, Manikkavasagar, meninggalkan dunia kekayaan
dan ketenaran untuk mencari dan melayani Tuhan. Hati lebur Nya ayat, yang
disebut Tiruvacagam, penuh dengan pengalaman visioner, cinta ilahi dan mendesak
berjuang untuk Kebenaran. Lagu-lagu dari keempat orang kudus adalah bagian dari
ringkasan dikenal sebagai Tirumurai, yang bersama dengan Veda dan Agamas Saiva
membentuk dasar alkitabiah Saiva Siddhanta di Tamil Nadu. Selain, filsuf-orang
kudus dan pertapa, ada Siddha tak terhitung banyaknya, "orang-orang
berprestasi," Tuhan-mabuk pria yang menjelajahi jalan mereka melalui
berabad-abad sebagai orang kudus, guru, umat terinspirasi atau bahkan membenci
orang-orang tersisih. Saiva Siddhanta membuat klaim khusus pada mereka, tetapi
kehadiran mereka dan memotong wahyu di semua, filosofi sekolah dan garis keturunan
untuk menjaga semangat sejati yang hadir Siva di bumi. Ini Siddha menyediakan
sumber utama kekuatan untuk memacu agama dari zaman ke zaman. Terkenal termasuk
nama Sage Agastya, Resi Bhoga, Tirumular dan Gorakshanatha. Mereka dihormati
oleh Siddhantins Siddha, Kashmir Saivites dan bahkan oleh cabang Nepal
Buddhisme. Di India Tengah, Saiva Siddhanta dari tradisi Sansekerta pertama
kali dilembagakan oleh Guhavasi Siddha (ca 675). Penerus ketiga dalam garis
keturunannya, Rudrashambhu, juga dikenal sebagai Amardaka Tirthanatha,
mendirikan ordo monastik amardaka (ca 775) di Andhra Pradesh. Dari waktu ini,
tiga ordo monastik muncul bahwa berperan dalam difusi Saiva Siddhanta di
seluruh India. Seiring dengan urutan Amardaka (yang diidentifikasi dengan salah
satu kota tersuci Saivism, Ujjain) adalah Orde Mattamayura, di ibukota dinasti
Chalukya, dekat Punjab, dan urutan Madhumateya Tengah India. Masing-masing
dikembangkan berbagai sub-order, sebagai bhikkhu Siddhanta, penuh semangat
misioner, menggunakan pengaruh patron kerajaan mereka untuk menyebarkan
ajaran-ajaran di kerajaan tetangga, terutama di India Selatan. Dari
Mattamayura, mereka mendirikan biara-biara di Maharashtra, Karnataka, Andhra
dan Kerala (ca 800). Dari guru banyak dan Acharya berikutnya, menyebarkan
Siddhanta melalui seluruh India, dua Siddha, Sadyojyoti dan Brihaspati dari
India Tengah (ca 850), dikreditkan dengan sistematisasi teologi dalam bahasa
Sansekerta. Sadyojyoti, diprakarsai oleh guru Kashmir Ugrajyoti, dikemukakan
pandangan filosofis Siddhanta seperti yang ditemukan dalam Agama Raurava. Ia
digantikan oleh Ramakantha I, Shrikantha, Narayanakantha dan Ramakantha II,
yang masing-masing menulis banyak risalah-risalah tentang Saiva Siddhanta.
Kemudian, Raja Bhoja Paramara dari Gujarat (ca 1018) terkondensasi tubuh besar
teks-teks kitab suci Siddhanta yang mendahului dia ke sebuah risalah ringkas
satu metafisik disebut Tattva Prakasha, dianggap sebagai kitab suci bahasa
Sansekerta terkemuka di Saiva Siddhanta.
Menegaskan pandangan monistik dari
Saiva Siddhanta adalah Shrikumara (ca 1056), menyatakan dalam komentarnya,
Tatparyadipika, pada karya Bhoja Paramara, bahwa Pati, pashu dan pasha pada
akhirnya satu, dan wahyu yang menyatakan bahwa Siva adalah satu. Dia adalah
inti dari segalanya. Shrikumara menyatakan bahwa Siva adalah kedua yang efisien
dan penyebab material dari alam semesta. Saiva Siddhanta itu mudah diterima di
mana pun menyebar di India dan terus berkembang sampai invasi Islam, yang
hampir dimusnahkan semua jejak Siddhanta dari Utara dan India Tengah, membatasi
praktek terbuka ke daerah selatan benua itu. Itu pada abad kedua belas yang
Aghorasiva mengambil tugas amalgamating tradisi Sansekerta Siddhanta Utara
dengan, Southern Tamil Siddhanta. Sebagai kepala sebuah biara cabang Orde
amardaka di Chidambaram, Aghorasiva memberikan suatu pandangan yang unik untuk
teologi Siddhanta Saiva, membuka jalan bagi sebuah sekolah pluralistik baru.
Dalam kuat menyangkal segala interpretasi monist dari Siddhanta, Aghorasiva
membawa perubahan dramatis dalam pemahaman tentang Ketuhanan dengan
mengelompokkan lima prinsip pertama, atau Tattva (Nada, Bindu, Sadasiva,
Ishvara dan Shuddhavidya), ke dalam kategori pasha (obligasi), menyatakan
mereka adalah efek dari sebab dan zat inheren tidak sadar. Ini jelas
keberangkatan dari pengajaran tradisional di mana lima adalah bagian dari sifat
ilahi Allah. Aghorasiva demikian meresmikan Siddhanta baru, berbeda dari Saiva
Siddhanta asli monistik dari Himalaya. Meskipun pandangan pluralistik
Aghorasiva dari Siddhanta, ia berhasil dalam melestarikan ritual Sansekerta
berharga dari tradisi Agamic kuno melalui tulisan-tulisannya. Sampai hari ini,
Aghorasiva yang Siddhanta filsafat diikuti oleh hampir semua candi imam
keturunan Sivacharya, dan teks Paddhati nya pada Agamas telah menjadi pedoman
puja standar. Kriyakramadyotika Nya adalah pekerjaan yang luas mencakup hampir
semua aspek ritual Siddhanta Saiva, termasuk diksha, Samskara, puja atmartha
dan pemasangan Dewata.
Pada abad ketiga belas, lain
perkembangan penting terjadi di Saiva Siddhanta ketika Meykandar menulis dua
belas ayat Sivajnanabodham. Karya ini dan berikutnya oleh penulis lain
meletakkan dasar dari Sampradaya Meykandar, yang mengemukanakan sebuah realisme
pluralistik dimana Tuhan, jiwa dan dunia adalah yg hidup berdampingan dan tanpa
awal. Siva efisien tetapi tidak sebab material. Mereka melihat jiwa yang
penggabungan dalam Siva sebagai garam dalam air, suatu kesatuan abadi yang juga
twoness. Literatur ini sekolah telah begitu mendominasi beasiswa yang Saiva
Siddhanta sering keliru diidentifikasi sebagai eksklusif pluralistik.
Sebenarnya, ada dua penafsiran, satu monistik dan lain dualistik, dimana yang
pertama adalah premis filosofis asli ditemukan di pra-Meykandar suci, termasuk
Upanishad. Saiva Siddhanta kaya akan tradisi kuil, festival keagamaan, seni
suci, budaya spiritual, klan imam, ordo monastik dan guru-murid garis
keturunan. Semua masih berkembang. Hari ini Saiva Siddhanta adalah paling
menonjol di antara enam puluh juta Saivites Tamil yang tinggal sebagian besar
di India Selatan dan Sri Lanka. Di sini dan di tempat lain di dunia, menonjol
Siddhanta masyarakat, kuil dan biara berlimpah.
2.3.
Saiva Siddhanta di India
2.3.1.
Sumber
Ajarannya
Ada
beberapa sumber ajaran Saiva Sidhanta di India yakni Veda, Saiva Agamas, serta
sumber tertulis lainnya yang digunakan (Subagiasta, 2002:43). Selain itu ada
juga naskah tradisional yang dinamai Meykanda Sastra sebagai filsafat kebenaran
antara lain: 1) Siva-Jnana-Bodha, 2) Siva-Jnana-Sidhiyar, 3) Irupavirupatha, 4)
Tiruvuntiyar, 5) Tirukhalirruppadiar, 6) Unmaivilakka, 7) Sivaprakasa, 8)
Tiruarudpayan, 9) Vinavenba, 10) Porripakrodai, 11) Kadikkawi, 12) Nencuvidututu,
13) Unmainerivilakka, 14) Sankalpanirakarana (Subagiasta, 2002:44). Jadi selain
sumber tersebut bahwa ada juga sumber yang penting lainnya berupa agamas,
puranas, itihasa, upanisad, yoga, dan sebagainya.
Saiva
Sidhanta adalah filsafat dari Saivaismei bagian selatan, yang bersumber tidak
dari penyusun tunggal, yang merupakan jalan tengah antara adwaita-nya Sankara
dan Wasista-advaita-nya Ramanuja. Kepustakaanya terutama terdiri dari : 1) 28
buah tentang Saiwita Agama, 2) kumpulan dari pujian-pujian Saiwita yang dikenal
sebagai Tirumrai, 3) kumpulan tentang kehidupan orang-orang suci Saiwita yang
dikenal sebagai Periyapuranam, 4) Siwajnanabodham-nya Meykandar, 5)
Siwajnanasiddhiyar-nya Arulnandi, dan 6) karya-karya dari Umapati. Karya
Tirumular yaitu Tirumantiram merupakan dasar dari struktur filsafat Saiva
Siddhanta (Sivananda, 2003:261). Demikian beberapa sumber penting dalam Saiva
Siddhanta.
2.3.2.
Ajarannya
Ajaran pokok
dari filsafat Saiva Siddhanta adalah bahwa Siwa merupakan realitas tertinggi
dan jiwa atau roh pribadi adalah dari intisari yang sama dengan Siwa, tetapi
tidak identik. Pati (Tuhan), Pasu (roh) dan Pasa (pengikat) dan 36 tattwa atau
prinsip yang menyusun alam semesta, kesemuanya nyata. System filsafat Saiva
Siddhanta merupakan intisari saringan dari Wedanta (Sivananda, 2003:261).
Siwa merupakan
cirri realitas tertinggi, merupakan kesadaran tak terbatas, yang abadi, tanpa
perubahan, tanpa wujud, merdeka, ada dimana-mana, maha kuasa, maha tahu, esa
tiada duanya, tanpa awal, tanpa penyebab, tanpa noda, ada dengan sendirinya,
selalu bebas, selalu murni, dan sempurna. Ia tidak dibatasi oleh waktu yang
merupakan kebahagiaan dan kecerdasan yang tak terbatas, bebas dari cacat, maha
pelaku, dan maha mengetahui (ibid,262). Lima kegiatan Tuhan (Panca Krtya)
adalah: srsti (penciptaan), sthiti (pemeliharaan), samhara (penghancuran),
tirobhawa (menutupi), dan anugraha (karunia), yang secara terpisah dianggap
sebagai kegiatan dari Brahma, Wisnu, Rudra, Maheswara, dan Sadasiwa (ibid,
262). Dewa Siwa meresapi alam dan ciptaan ini melalui saktinya. Juga Dewa Siwa
berkarya melaui saktinya. Dewa Siwa memiliki kekuatan (sakti). Dewa Siwa
merupakan hakikat kesadaran (caitanya). Siwa adalah kesadaran murni sedang
materi (sarana) kesadaran tidak murni. Sedangkan sakti adalah mata rantai
perantara di antara keduanya.
2.3.3.
Tempat
Pemujaannya
Tempat pemujaan
bagi umat Hindu di India termasuk bagi pengikut Saiva Siddhanta dinamai Mandir.
Dalam istilah lainnya juga dinamai Dewalaya. Sebagai sentra pemujaan Siwa di
India kalau di daerah Uttar Pradesh ada di daerah Benares atau juga dinamai
kota Kasi. Umat pada umumnya menyebutnya dengan nama kota Siva. Oleh karena di
sana para umat Hindu untuk memuja Bhatara Siwa. Nama Mandirnya adalah Viavanath
Mandir. Ada juga sebuah tempat suci yang sangat megah untuk pemujaan Dewa Siwa
yakni Golden Temple yang terletak di tengah-tengah kota Benares di tempat
sungai Gangga.
Selain itu ada
juga beberapa mandir besar lainnya seperti: Somnath Mandir, Kedarnath Mandir,
Mahakaleshwar Mandir, Omkareshwar Mandir, Mallikarjuna Mandir, Vaidhyanath
Mandir atau Baijnath Dham Mandir, Bhismashankar Mandir, Ghushmeshwar Mandir,
Tryambhakeshwar Mandir, Nageshwar Mandir, Setubandha Rameshwar Mandir, dan
sebagainya (Subagiasta, 2002:49-57). Dalam praktek kehidupan beragama Hindu
bahwa pada setiap rumah tangga juga ada untuk pemujaan Dewa Siwa berupa altar
atau sejenis pelangkiran bagi umat Hindu di Bali. Pada masing-masing altar itu
juga disediakan tempat khusus untuk menempatkan sesaji, sarana pemujaan, atau
hal lainnya yang diperlukan. Umumnya disiapkan ruangan khusus yang memang
disicikan.
2.3.4.
Penerapan
Saiva Siddhanta di India
Mengenai
penerapan Saiva Siddhanta di India dapat dilihat dalam praktek nyata dalam
kehidupan beragama Hindu di India secara sosiologis nampak dengan jelas.
Kemudian secara religiusnya terlihat dalam praktek pemujaan (upasana atau
puja). Yang paling rutin diterapkan adalah di suatu mandir, baik ditingkat
perseorangan maupun dalam kondisi komunal. Ada dua cara dalam penerapannya yang
dilakukan adalah dengan cara sarana, sadhana, material, upakara, banten/bali,
atau simbol-simbol tertentu yang dinamai pratika atau saguna upasana. Sedangkan
cara penerapan yang lainnya adalah dengan ahamgraha upasana atau nirguna
upasana. Cara ini dilakukan dengan cara meditasi pada patung, arca, pratima,
gambar/citra, dewa-dewi, aksara atau hal yang dapat meningkatkan kualitas
meditasi menuju spiritual yang paramaartha serta parasiwa. Cara pratika upasana
atau saguna upasana adalah bentuk meditasi yang real atau sakala, sedangkan
ahamgraha upasana atau nirguna upasana adalah bentuk abstrak meditasi.
Bilamana
dibandingkan dengan penerapan yang di Indonesia atau di Bali bahwa penerapan
Saiva Siddhanta melaui ritual yang paling banyak dengan konsep panca maha
yajna. Juga atas asas dan konsepsi catur marga. Penerapan di India pun juga ada
kemiripan, karena juga diterapkan panca yajna yakni dewa yajna, manusa yajna,
bhuta yajna, resi yajna dan pitra yajna. Kelihatannya dalam penerapan di India
kesederhanaan dalam berupacara terutama dalam praktek upakara atau sesajen. Di
Indi juga digunakan banten yang dinamai Bali namun masih tergolong lebih
sederhana, tetapi bukan berarti lebih irit, tentu itu tidak bisa disamakan.
Bisa saja menjadi lebih tidak irit mengingat biaya yang lainnya sangat
membengkat, terutama dalam sangu pada para tamu (atithi uja) serta yang
lainnya. Sehingga jika ditanya para bhakta disana juga menghabiskan biaya yang
tidak sedikit. Hal ini tergantung kepada pemujanya atau bahktanya. Tidak lantas
langsung dibandingkan bahwa yang ini irit dan yang ini boros, yang ini benar
dan yang ini salah. Hal demikian tidak bisa dirasiokan secara kasat mata.
Karena kehidupan beragama Hindu sesungguhnya dasarnya adalah ketulusan hati.
Umat Hindu tidak perlu bertindak gegabah dengan memvonis langsung bahwa
beragama Hindu sulit, beragama Hindu boros, beragama susah dan lain-lainnya.
Hal yang demikian jangan sampai terjadi dalam penerapan agama Hindu. Bila di
India Nampak irit dan gampang, itu berarti yang kita miliki di Bali harus
direformasi, tentu tidak. Ingatlah bahwa beragama Hindu memiliki drsta dan
sadacara.
Dalam penerapan
agama Hindu di India ada yang dinamai sepuluh samskara meliputi: garbhadana
samskara (mensucikan kegiatan penciptaan), pumsavana samskara (upacara
mantra-mantra kandungan berumur bulan ketiga bagi anak), Simantonnayana
samskara (pengucapan mantra weda pada saat kandungan berumur tujuh bulan),
Jatakarma samskara (upacara segera kelahiran anak), Namakarana samskara
(upacara pemberian nama anak), Annaprasana samskara (pemberian makanan pertama
kali saat berumur enam bulan), Cudakarana samskara (upacara pencukuran rambut
pertama kali bagi anak), Upanayana samskara (upacara mendekatkan anak untuk
belajar pada gurunya), Samavartana samskara (upacara mengakhiri masa belajar
agama atau weda) dan Vivaha samskara (upacara perkawinan atau masa berumah
tangga). Ada dikenal dengan homa untuk dewa yajna, tarpana atau sradha untuk
pitra yajna, belajar weda atau brama untuk resi yajna, bali untuk bhuta yajna,
dan penghormatan atau keramahtamahan untuk manusya yajna. Demikian penerapan
ajaran Saiva Siddhanta di India yang sudah tentu ada kemiripan penerapan yang
berlangsung di Bali, mengingat konsep yang utama juga sama yakni mengenai
hakikat ketuhanan yang esa yaitu Dewa Siwa realitas tertinggi.
2.3.5.
Pengikutnya
Bila
diperhatikan tentang pengikut dari Saiva Siddhanta bahwa pada umumnya adalah
para bhakta Siva. Terutama umat Hindu pada umumnya yang tersebar diberbagai
pelosok wilayah di Negara bagian India, mulai dari daerah utara sampai ke
daerah selatan. Daerah utara kebanyakan ada di Uttar Pradesh, Uttaranchal,
Jammu Kashmir, Bengala, Bihar, Madhya Pradesh. Sedangkan di daerah selatan
adalah sekitar Karnataka, Andra Pradesh, Tamil Nadu, dan sebagainya. Demikian
juga sekte-sekte Saiva lainnya seperti: Akas Mukhi, Gudara, Jangama, Karalingi,
Nakhi, Rukhara, Sukhara, Urdhabahu, Ukkara yang kesemuanya ini adalah
sekte-sekte Saiva (Sivananda, 2003:150). Pengikut lainnya adalah para Brahmana
dari Tamil Nadu dengan gelar Aiyer dan mereka disebut Smarta (ibid, 149). Cirri
umumnya yang Nampak adalah mereka semua menggunakan tiga garis mendatar dari
Bhasma dan Wibhuti (abu suci) pada dahinya dan kesemuanya memuja Dewa Siwa.
Masih di daerah Tamil Nadu bahwa sebutan pengikut Saiva Siddhanta ada dinamai
Gurukkal. Tetapi pengikut Waisnawa dinamai Pattar. Pada daerah lainnya seperti
di Malabar bahwa pengikut Saiva Siddhanta dinamai Nambudiri, Muse dan
Embantiri; sedangkan di daerah Bengala dinamai: Cakrawarti, Cunder, Roy,
Ganguli, Coudhury, Biswa, Bagci, Majumdar, dan Bhattacarji (ibid, 149). Kalau
di daerah Karnataka bahwa para Brahmana pengikut Saiva Suddhanta dinamai
Smarta, Hawiga, Kota, Siwali, Tantri, Kardil, dan Padya (ibid, 149).
Selanjutnya di daerah Telugu Smarta adalah Murkinadu, Welandu, Karanakammalu,
Puduru, Drawidi, Telahanyam, Konasimadrawidi, dan Anuwela Niyogi (ibid, 150).
Untuk di daerah Mysore dan Karnataka (Lingayat) mereka dinamai Wirasaiva,
mereka mengenakan sebuah Linga Siwa yang diletakkan dalam sebuah kotak perak
kecil pada lehernya (ibid, 150).
Ada juga dinamai
pengikut dalam sebutan dasanama sannyasin, tetapi mereka tidak semua pemuja dan
pengikut Siwa. Ada sebagian yang memuja Visnu atau dari paksa Vaisnawa. Sisanya
lagi dari para bhakta yang ada di India. Khusus para Bhakta Hindu sebagai
pemuja Siwa, diantaranya ada yang dinamai Saraswati, Puri, Bharati, Tirtha,
Asrama, Wana, Aranya, Giri, Parwata dan Sagara. Semua para sannyasin sebagai
pengikut Siwa tersebut merupakan para pemuja Siwa dari berbagai daerah di
India, seperti: di Dwaraka, Josi, Puri, dan beberapa daerah lainnya di India.
Tidak saja mereka sebagai pemuja Siwa, tetapi juga mereka sebagai pemuja Visnu.
Kemudian para snnyasin Tamil mereka yang termasuk pada Kowilur Mutt dan
Dharmapuram Adhinam yang semuanya mereka itu sebagai pemuja dan pengikut Saiva.
Satu yang unik nampak pada saat perayaan Kembha Mela, Adha Kumbha Mela, dan
Maha Kumbha Mela bahwa para pengikut Saiva Nampak memiliki kekhasan sekali,
yakni mereka melumuri badannya dengan abu suci dan janggut mereka disimpul
mati, sannyasin demikian dinamai Naga oleh karena kondisi realnya mereka dalam
keadaan telanjang, tanpa busana sediktpun, namun mereka memiliki ketulusan
hati, kesucian pikiran, perilaku yang mulia sebagai penyembah dan pemuja Siwa
yang sejati. Satu lagi pemuja atau pengikut Saiva Siddhanta ada dinamai
Gorakhnath Panthi yang berada di Gorakphur di wilayah Uttar Pradesh. Pengikut
dari Gorakhnath biasanya disebut Kanphata, karena mereka melubangi telinganya
dan mereka memakai anting-anting ada saat inisiasi mereka. Mereka memuja Dewa
Siwa (ibid, 156). Jadi yang dinamai dasanama sannyasi itu adalah para bhakta
atau umat Hindu India yang memiliki kepercayaan yang sangat kuat baik terhadap
Dewa Siwa, sebagian lagi kepada Dewa Visnu, pemuja Rama, pemujaAnoman, serta
pemuja lainnya sesuai ista dewata dalam agama Hindu.
2.3.6.
Hari
Sucinya
Seperti
halnya di Indonesia dan juga di Bali bahwa perayaan suci agama Hindu Nampak ada
persamaan dan sedikit perbedaan. Ada yang sama dalam sebutan perayaan sucinya
seperti : Perayaan Siwaratri, perayaan Saraswati, Purnima atau Purnama,
Amavasya atau Tilem, dan juga menyucikan sekali bagi perayaan umat Hindu setiap
hari selasa, yang oleh umat Hindu dinamai Mangala Wara merupakan hari suci
untuk pengendalian diri, menasehati diri, menggembleng diri, serta koreksi
diri. Cara yang lazim dilakukan pada saat perayaan suci adalah dengan melakukan
upawasa selama sehari penuh bahkan lebih dari sehari Bhakta ya ng telah mampu
melaksanakannya setiap perayaan suci diikuti dengan upawasa tersebut. Bahkan
bagi yang telah mantap juga diikuti dengan brata ( pantangan ), yoga ( gerakan sikap
badan yang tenang dan damai untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widi
Wasa ( Bhatara Siwa ), dan juga dengan cara semedi ( melakukan meditasi).
Sedangkan bagi bhakta yang mampu memusatkan pikiran dengan hening dan suci juga
diikuti dengan japa yakni mengucapkan mantram suci berkali-kali seperti “Om
Namah Siwaya” demikian seterusnya diulang dan diulang lagi dalam hati tanpa ada
yang terdengar suara atau ucapan dari para bhakta.
Satu
hal lagi yang menarik bahwa para bhakta Saiva Siddhanta di India tidak saja
memilih setiap hari suci untuk melakukan pemujaan kepada Dewa Siwa, tetapi
bersifat rutin dan kontinyu. Kapanpun dan dimanapun bila ada ditemui dan ada
dijumpai sebuah mandir ( sebuah tempat suci untuk memuja Siwa ) maka seketika
itu pula dilakukan pemujaan dan penghormatan kepada Bhatara Siwa. Caranya
sesungguhnya tidak berat dan tidak juga gampang yang utama tetap landasannya
adalah kesucian dan ketulusan hati. Bentuk atau sikap pemujaan kepada Bhatara
Siwa adalah dengan cara mencakupkan kedua telapak tangan ditaruh di hulu hati
dan ada diatas ubun-ubun juga ada dengan cara sungkem yakni dengan mencium
pelataran mandir dan sebelumnya dilakukan pembunyian genta yang ada di mandir yang
telah disiapkan sedemikian rupa. Maka bagi bhakta yang datang ke mandir diawali
dengan membunyikan genta setidaknya satu kali atau tiga kali sesuai tradisi
yang berlaku di mandir tersebut.
Bilamana
pada saat siwaratri atau mahasiwaratri yang dipuja adalah Dewa Siwa. Pada saat
itu para bhakta melakukan pemujaan kehadapan Dewa Siwa. Kalau di India perayan
Siwaratri dilakukan sekitar bulan kapitu atau dinamai Sasi Magha sekitar bulan
januari dan februari pada setiap tahunnya. Saat itulah umat Hindu datang
berduyun-duyun ke tempat-tempat suci, seperti mandir, ada yang kecampuhan yakni
tempat suci berupa pertemuan sungai, seperti ada yang disangam ada di wilayah
kota suci Hindu bernama Prayaga. Disanalah umat Hindu atau pengikut Saiva
Sidanta melakukan penyucian diri ( kalau di Bali malukat, mesiram, melasti,
jika disana dinamai snan dalam bahasa Hindhi, dan sananam dalam bahasa
Sansekerta ). Tempat suci sangan tersebut merupakan pertemuan dari tiga sungai
suci Hindu yang bernama sungai Ganga, Yamuna, dan sungai Saraswati, jadi ketiga
sungai suci itu dinamai Triveni atau Trinadhi.
Hari
suci yang lainnya lagi adalah pemujaan kehadapan sakti Siwa yang dinamai Durga
Puja yakni hari suci unutk memuja Dewi Durga sebagai ibu suci dan ibu niskala
yang memberikan kekuatan lahir bhatin terhadap umat Hindu. Dalam tradisi India
ada yang disebut nawaratripuja yaitu pemujaan selama Sembilan hari Sembilan
malam terhadap Dewa Siwa dan Dewi Durga. Praktek pemujaannya adalah dengan
vreta atau brata, yang dalam bahasa Hindinya dinamai ‘bret’ artinya tidak makan
dalam kurun waktu yang diingin oleh para bhakta. Sembilan hari pemujaan dewi
atau ibu dikenal sebagai nawaratripuja, merupakan sifat dari upacara wijaya
utsawa kemenangan ‘sembilan hari’ dipersembahkan kepada ibu, karena
keberhasilannya berjuang dengan para raksasa dipimpin oleh sumbha dan nisumbha
( Siwananda, 2003 : 108-109 ). Jadi pemujaan Siva dan pemujaan Durgha saat nawa
ratri puja tersebut merupakan proses bagi umat Hindu atau para bhakta untuk
memperpendek proses evolusi dari asas kejiwaan menuju asas kesiwaan dan hal itu
sebagai awal untuk penghancuran mala/pataka/dosa ( kekotoran, kekeliruan, dan
kesalahan ).
2.3.7.
Orang
Sucinya
Orang suci umat
Hindu yang ada di India ada yang dinamai Pandit. Kata pandit ( bahasa Hindi )
sedangkan dalam bahasa Sansekerta disebut Pandita. Kalau di Indonesia disebut
“Pendeta” yakni orang suci yang memimpin suatu upacara keagamaan Hindu. Tidak
saja itu juga diagama non Hindu juga menamai pendeta. Selain itu ada juga yang
dinamai para sadhu. Dalam kenyataan masyarakat Hindu di Bharatiya bahwa peran
orang suci adalah sangat menentukan oleh kalangan Brahmin, maka peran para
orang suci sangat menentukan. Orang suci kalau di Bharatiya sangat dihormati
dan disucikan oleh umat Hindu. Terutama oleh pengikut Saiva Siddhanta bahwa
para pemuja Siva dan para bhakti Siva begitu berbhakti kepada orang suci Sapta
Rsi. Ketujuh rsi penerima wahyu yaitu Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri,
Bharadwaja, Wasistha, dan Maharsi Kanwa. Di samping tujuh maharsi diatas pula
dua puluh Sembilan maha resi penerima wahyu dan mereka itu dikenal dengan
sebutan “nawawimsati krtyasca veda vyastha Maharsibbih” yaitu maha resi
Swayambhu, Daksa, Usana, Wrhaspati, Aditya, Mrtyu, Indra, Wasista, Saraswata,
Tridathu, Tridrta, Sandhyaya, Akasa, Dharma, Triyaguna, Dhananjaya, Krtyaya,
Ranajaya, Bharadwaja, Gotama, Uttama, Parasara dan Maha resi Vyasa. Menurut
tradisi Hindu, maharesi terbesar dan sangat banyak jasanya dalam menghimpun dan
mengkodifikasikan Weda adalah maharesi Vyasa ( tim penyusun, 1987 : 7 ). Selain
itu juga ada dinamai maharesi penyusun Catur Samhita yakni maharesi Paila (
Pulaha ) sebagai penyusun Reg Weda Samhita, maharesi Waisampayana sebagai
penyusun Yajur Weda Samhita, maharesi Jamini sebagai penyusun Sama Weda
Samhita, dan Maharesi Sumantu sebagai penyusun Atharwa Weda Samhita. Itulah
para orang suci Hindu yang juga sebagai orang suci bagi bhakta Siwa.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Adapun
kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah perkembangan agama Hindu di India
dapat di pilah menjadi empat jaman (yuga) yakni: pertama jaman Weda, kedua
jaman Brahmana, ketiga jaman Upanisad, dan keempat jaman Tantrayana. Saiva
Sidhanta adalah filsafat dari Saivaismei bagian selatan, yang bersumber tidak
dari penyusun tunggal, yang merupakan jalan tengah antara adwaita-nya Sankara
dan Wasista-advaita-nya Ramanuja. Kepustakaanya terutama terdiri dari : 1) 28
buah tentang Saiwita Agama, 2) kumpulan dari pujian-pujian Saiwita yang dikenal
sebagai Tirumrai, 3) kumpulan tentang kehidupan orang-orang suci Saiwita yang
dikenal sebagai Periyapuranam, 4) Siwajnanabodham-nya Meykandar, 5)
Siwajnanasiddhiyar-nya Arulnandi, dan 6) karya-karya dari Umapati. Karya
Tirumular yaitu Tirumantiram merupakan dasar dari struktur filsafat Saiva
Siddhanta (Sivananda, 2003:261).
Ajaran
pokok dari filsafat Saiva Siddhanta adalah bahwa Siwa merupakan realitas
tertinggi dan jiwa atau roh pribadi adalah dari intisari yang sama dengan Siwa,
tetapi tidak identik. Tempat pemujaan bagi umat Hindu di India termasuk bagi
pengikut Saiva Siddhanta dinamai Mandir. Dalam istilah lainnya juga dinamai
Dewalaya. Ada dua cara dalam penerapannya yang dilakukan adalah dengan cara
sarana, sadhana, material, upakara, banten/bali, atau simbol-simbol tertentu
yang dinamai pratika atau saguna upasana. Sedangkan cara penerapan yang lainnya
adalah dengan ahamgraha upasana atau nirguna upasana. Bila diperhatikan tentang
pengikut dari Saiva Siddhanta bahwa pada umumnya adalah para bhakta Siva.
Terutama umat Hindu pada umumnya yang tersebar diberbagai pelosok wilayah di
Negara bagian India, mulai dari daerah utara sampai ke daerah selatan. Seperti
halnya di Indonesia dan juga di Bali bahwa perayaan suci agama Hindu Nampak ada
persamaan dan sedikit perbedaan. Ada yang sama dalam sebutan perayaan sucinya
seperti : Perayaan Siwaratri, perayaan Saraswati, Purnima atau Purnama,
Amavasya atau Tilem, dan juga menyucikan sekali bagi perayaan umat Hindu setiap
hari selasa, yang oleh umat Hindu dinamai Mangala Wara merupakan hari suci
untuk pengendalian diri, menasehati diri, menggembleng diri, serta koreksi diri.
Orang suci umat Hindu yang ada di India ada yang dinamai Pandit. Kata pandit (
bahasa Hindi ) sedangkan dalam bahasa Sansekerta disebut Pandita. Kalau di
Indonesia disebut “Pendeta” yakni orang suci yang memimpin suatu upacara
keagamaan Hindu. Tidak saja itu juga diagama non Hindu juga menamai pendeta.
Selain itu ada juga yang dinamai para sadhu.
3.2.
Saran
Adapun saran dari penulisan makalah ini
agar para pembaca dapat melengkapi segala kekurangan dari penulisan makalah ini
serta diharapkan kedepannya dapat memberikan suatu pemahaman yang lebih
mendalam, entah itu dari sejarah perkembangan agama Hindu ataupun pemahaman
tentang Saiva Siddhanta di India. Selain itu, pemahaman kita tidak hanya
berhenti sampai disitu saja tetapi juga mengetahui perjalanan Sejarah Agama
Hindu ataupun Saiva Siddhanta sampai ke Indonesia khususnya Bali serta
perkembangannya samapai saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan,
I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar
Sivasiddhanta 1. Singaraja.
Sivananda,
Sri Swami. 1993. Intisari Agama Hindu.
Surabaya : Paramita
Subagiasta,
I Ketut. 2006. Saiva Siddhanta di India
dan di Bali. Surabaya : Paramita.
http://www.hinduismtoday.com/modules/smartsection/item.php?itemid=3247
( di unduh Kamis, 15 Maret 2012 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar