Selasa, 10 Desember 2013

ayo belajar



CATUR ASRAMA DALAM PENDIDIKAN JAMAN SEKARANG


ABSTRAK
Catur Asrama sebagai empat jenjang kehidupan yang berlandasakan petunjuk kerohanian Hindu mengajarkan tentang program hidup sesuai dengan fase dalam kurun waktu tertentu. Dalam fase kehidupan Catur Asrama hidup dipolakan, sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya orang berada pada fase pertama, tidak boleh atau kurang tepat menuruti tatanan hidup dalam fase kedua, ketiga ataupun keempat. Masing-masing jenjang memiliki warna tersendiri dan semua jenjang itu harus dilewati hingga akhir hayat dikandang badan. Ajaran Catur Asrama pada jaman sekarang  mendidik manusia agar melaksanakan swadharma sesuai dengan jenjang umur yang dimilikinya. Oleh karena itu, maka penting sekali manusia dijaman sekarang selalu bercermin pada ajaran Catur Asrama sehingga tidak menjalankan dua asrama dalam satu fase kehidupan. Konsekuensi atas penyimpangan pada ajaran Catur Asrama akan menyebabkan manusia lebih terbebani dalam menjalankan hidup.

I.   Pendahuluan
Pendidikan umumnya dipahami sebagai suatu kegiatan mulia yang selalu mengandung kebajikan dan senantiasa berwatak netral. Akan tetapi, para praktisi pendidikan di lembaga pendidikan ataupun sekolah formal banyak yang tidak sadar bahwa mereka tengah terlibat dalam suatu pergumulan politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Pendidikan bagaikan sepotong ranting rapuh terombang-ambing mengapung di atas samudera kebudayaan yang mahaluas. Kadang-kadang ditarik oleh gelombang idiologi dibawa ke tengah samudera dan kembali lagi didorong ke luar menuju pantai harapan bersama gulungan-gulungan ombak kepentingan yang memang tidak pernah surut dari masa ke masa. Ambivalensi dan ambigusitas menjadi karakternya sehingga eguana pendidikan hidup dalam beraneka warna aliran, paham, idiologi, bahkan kepentingan. Oleh karena itu Fakih (dalam O’neil, 2002) memberikan pemetaan aliran paradigma pendidikan yang digunakan oleh Henry Giroux and Aronowitz (1985) yang membagi ideologi pendidikan menjadi tiga aliran, yaitu konservative, liberal, dan kritis.
Pertama, paradigma konservative memandang bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari, dan sudah merupakan ketentuan sejarah, bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah hal yang harus diperjuangkan karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik paradigma konservative dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial. Menurutnya hanya Tuhan-lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna di balik itu semua. Artinya, kaum konservative klasik menganggap masyarakat tidak memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Jadi, pendidikan hanya menjadi hamba kekuasaan.
Kedua, paradigma liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat, terutama persoalan politik dan ekonomi, tetapi pendidikan tidak ada kaitannya dengan persolan tersebut. Artinya, tugas pendidikan tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Walaupun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan politik dan ekonomi di luar dunia pendidikan, yaitu dengan jalan memecahkan masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi ‘kosmetik’. Umumnya yang dilakukan seperti perlunya membangun ruang belajar dan fasilitas baru, laboratorium dengan peralatan dan perlengkapan yang canggih, dan berbagai usaha untuk menyehatkan rasio guru-murid. Akar dari pendidikan ini adalah liberalisme, yaitu suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan melindungi hak, kebebasan, dan mengidentifikasi problem, serta upaya perubahan sosial secara instrumental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Model tipe ideal mereka adalah manusia “rationalis liberal”, seperti bahwa manusia memiliki potensi sama dalam intelektual; baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal; dan individualis yang menganggap bahwa manusia adalah atomistik dan otonom.
Ketiga, paradigma kritis memandang bahwa pendidikan merupakan arena perjuangan politik. Paradigma ini menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada. Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Dalam perspektif ini, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi terhadap ‘the dominant ideology’ ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekontruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Dalam hal ini pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa bagi paradigma konservative pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sedangkan bagi paradigma liberal pendidikan bertujuan untuk perubahan moderat, tetapi paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik dan ekonomi masyarakat. Walaupun demikian, pada hakikatnya pendidikan yang diperlukan manusia adalah pendidikan yang dapat mengantarkan manusia menjadi lebih manusiawi. Seperti banyak dijelaskan dalam filsafat pendidikan bahwa pendidikan pada hakikatnya memberikan wawasan agar manusia mengerti dan memahami dirinya sebagai manusia yang berkesadaran, bermoral, dan berkemanusiaan. Dengan demikian manusia dapat menjadi dirinya, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain dan lingkungannya sehingga mampu hidup berdampingan secara harmonis dengan sesamanya, bahkan dengan segala makhluk. Inilah yang disebut manusia matang dan dewasa yang mampu bertanggung jawab, baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap orang lain dan lingkungannya. Seperti dinyatakan dalam tujuan pendidikan nasional agar peserta didik menjadi manusia mandiri dalam mewujudkan masyarakat madani. Inilah hakikat tujuan pendidikan dan bukan sekadar hanya menciptakan manusia pekerja bagi pengembangan industri dan memperkuat kapitalisme serta membangun mental borjuis. Oleh karena itu dalam Hindu diajarkan catur asrama sebagai tahapan perkembangan kehidupan dan catur purusa artha sebagai tujuan kehidupan manusia.
Keterpaduan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan dapat diamati dari sistem sosial kemasyarakatan orang Bali dan tujuan hidupnya. Seperti ditegaskan oleh Takwin (2003) bahwa kebudayaan dan agama Hindu di Bali tampak begitu menyatu dalam kehidupan masyarakat sebagai adat istiadat atau tradisi sehingga tidak mudah membedakan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan. Dalam hal ini tampak dalam jalinan antara catur asrama sebagai tahapan kehidupan dan tri hita karana sebagai landasan sistem sosial kemasyarakatan serta tujuan hidup yang berdasarkan pada catur purusa artha. Pada kenyataan dalam pengalaman empiris kehidupan masyarakat Hindu di Bali telah terwujud keselarasan antara harmoni catur asrama dan tri hita karana dengan realisasi catur purusa artha, baik dalam pikiran dan perkataan maupun tindakan. Keharmonisan ini tampak mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari sebagai yadnya.
Dengan demikian pada prinsipnya terdapat keselarasan antara hakikat tujuan pendidikan nasional dan ajaran catur asrama. Akan tetapi, masyarakat Hindu dan khususnya masyarakat Hindu di Bali belum memahami jalinan dan keselarasan tersebut sehingga cenderung diabaikan
.
Asisten I Direktur Program S2 Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar Drs. Wayan Budi Utama, M.Si. mengatakan pada usia belajar, pikiran anak-anak seperti tajamnya tunas ilalang. Pada saat tajamnya pikiran itulah berbagai ilmu dengan mudah dikuasai. Demikian mestinya umat Hindu menjalankan sistem sosialnya yang telah diwarisi konsep catur asrama yang demikian bagusnya. Spirit nilai yang terkandung dalam konsep itu masih sangat strategis dimaknai dalam konteks kekinian. ''Ketika pengaruh global melanda semua sisi kehidupan, tampaknya spirit itu masih sangat relevan digunakan sebagai pegangan. Misalnya, ketika kemajuan teknologi sangat deras mempengaruhi kehidupan generasi muda, benteng yang bisa diandalkan adalah nilai-nilai pendidikan, terutama budi pakerti,'' katanya.  Masa brahmacari inilah kesempatan emas bagi generasi muda untuk menimba ilmu pengetahuan setinggi-tingginya, termasuk dalam bidang agama. Jika benteng pertahanan itu sudah kuat, sederas apa pun arus global menerjang, anak-anak akan selamat. Anak-anak tidak akan mudah terperosok pada pemakaian obat-obatan terlarang, pergaulan atau seks bebas dan sebagainya.
Hindu telah mewariskan pembabakan atau termin tingkat hidup disesuaikan dengan perkembangan psikologis dan intelektual umat yang dikenal dengan catur asrama --brahmacari, grehasta, wanaprasta dan biksuka. Terutama dalam tahapan brahmacari, dunia pendidikan mesti menjadi perhatian utama. Sebab, ilmu pengetahuan merupakan lentera dalam menerangi gelapnya kehidupan,'' ujarnya.
Sementara pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi peningkatan mutu SDM. Bagaimana bisa bersaing jika SDM Hindu tidak berkualitas. Melalui pendidikanlah kualitas diri bisa ditingkatkan. Pada saat brahmacari-lah ilmu pengetahuan mesti digali sebanyak-banyaknya. Tetapi bukan berarti belajar berhenti pada masa brahmacari. Belajar tetap sepanjang hayat. Pendidikan menjadi sesuatu yang penting dalam Hindu, sehingga anak yang dilahirkan menjadi generasi yang suputra. Bahkan, proses pendidikan (pendidikan prenatal) itu sudah berlangsung saat terjadi pembuahan. Maka, dalam ritual Hindu dikenal istilah magedong-gedongan. Selama masa kehamilan, dalam teologi Hindu ada sesuatu yang bisa dipedomani, misalnya si ibu tidak boleh dibuat terkejut dan sebagainya. Ketika lahir, ada tahapan-tahapan perlakukan terhadap anak-anak. Kapan ia diperlakukan sebagai raja semua kemauannya dituruti. Kapan ia diperlakukan sebagai ''budak'', bisa disuruh untuk mengerjakan sesuatu, dan kapan ia dijadikan sebagai teman. Umumnya, ketika anak-anak menginjak usia remaja orangtua memperlakukannya sebagai teman. Berbagai kesulitan yang dialami, dicarikan jalan pemecahannya.
Jadi pada masa brahmacari itulah, kata Budi Utama, kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) saatnya dikembangkan. Dalam hal ini orangtua sangat besar perannya dalam pengembangan semua kecerdasan itu. Terutama kecerdasan spiritual, orangtua memiliki peran yang strategis dalam mengembangkannya. Karena itu, di rumah, anak-anak mesti dilibatkan pada hal-hal yang bersifat spiritual seperti dalam pembuatan bahan-bahan ritual sehingga SQ-nya berkembang dengan baik. Dalam masa brahmacari, semua kecerdasan hendaknya dikembangkan secara seimbang, sehingga anak-anak menjadi generasi yang utuh. Lagi pula, keberhasilan anak-anak dalam melakoni hidupnya kemudian (masa grehasta) tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual. Dua kecerdasan lainnya yakni EQ dan SQ, juga besar perannya. Sementara pada masa brahmacari, umat lebih fokus pada pencarian artha dan kama. Namun, dalam pencarian artha dan kama itu dasarnya tetap dharma. Pencarian artha itu selain untuk melangsungkan kehidupan, juga untuk membiayai pendidikan anak-anak, selain didana-puniakan dan disisihkan untuk kepentingan yadnya.
Sementara pada saat menapaki kehidupan wanaprasta, umat sesungguhnya dituntun untuk mengasingkan diri dari hal-hal yang berbau keduniawian. Dulu, menapaki hidup wanaprasta umat pergi ke hutan untuk menyepikan diri. Tetapi dalam konteks sekarang, ''hutan belantara'' itu berada di tengah-tengah kita. Agar umat mampu menghindari diri dari kobaran api hawa nafsu, memang memerlukan pengendalian diri. Pada usia yang sudah lanjutlah, umat cocok sekali mendalami hal-hal yang berbau spiritual.
Sementara pada masa brahmacari, umat mesti lebih banyak mengejar ilmu mempelajari buku-buku. Sebab, buku itu merupakan jendela dunia. Dengan banyak membaca, belajar dan berguru, niscaya generasi muda Hindu mampu menjadi anak yang suputra -- yakni anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Dengan berbekalkan pengetahuan dan keterampilan yang memadai, umat tidak akan mengalami kesulitan dalam persaingan global. ''Dulu, saya ingat waktu sekolah anak-anak di-drill intelektualnya dengan aksara dan wariga. Hal itu strategis untuk membangkitkan logika berpikir,'' kata IB Jelantik yang Asdir III Program S2 Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi itu.

II.          Pembahasan

1.       Catur Asrama merupakan Sistem Pendidikan Hindu
Asrama menurut Gandhi (1981) berarti suatu kehidupan bermasyarakat dari orang-orang beragama. Menurut agama Hindu bahwa kehidupan manusia dilalui dalam empat tahapan yang disebut catur asrama, yaitu brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Menurut Panitya Tujuh Belas (1986:135) bahwa catur asrama berarti empat tahapan masa kehidupan manusia. Empat tahapan masa kehidupan manusia, yaitu brahmacari adalah masa belajar; grehasta adalah masa pembinaan keluarga dan bermasyarakat; wanaprasta adalah masa perjuangan hidup yang ditujukan pada pengendalian diri, mendalami kitab suci, dan mengusahakan dharma; sedangkan sanyasa atau bhiksuka adalah masa kehidupan rohaniah dan seluruh kehidupan ditujukan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa
Tahapan-tahapan perkembangan kehidupan manusia dalam masyarakat Hindu di Bali ditandai dengan melaksanakan upacara keagamaan. Upacara keagamaan untuk menyucikan kehidupan manusia disebut manusa yadnya, salah satu dari jenis panca yadnya. Upacara ini dilaksanakan sejak janin dalam kandungan hingga lahir dan melangsungkan perkawinan setelah dewasa. Menurut Putra (1998:33) bahwa manusa yajna merupakan pendidikan, pemeliharaan, dan penyucian secara spiritual terhadap seorang anak sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Artinya, proses pendidikan tidak hanya berlangsung setelah anak itu lahir, tetapi telah berlangsung dan dapat diberikan sejak anak masih dalam kandungan sebagai pendidikan pranatal. Seperti ditegaskan oleh Sudharta (1993:2), bahkan pembentukan watak itu sudah dimulai ketika ibu bapak mengadakan senggama yang harus dilakukan dengan tujuan mendapat anak yang baik.
Putra (1998:35) menjelaskan bahwa upacara-upacara dalam manusa yajna dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama upacara penyucian terhadap hal-hal yang kurang baik yang disebabkan oleh kedua orang tua. Yang tergolong dalam upacara ini adalah upacara di dalam kandungan, kelahiran, pemberian nama, gelang, dan perhiasan lainnya sampai pada upacara penggungtingan rambut pertama. Kedua, upacara penyucian terhadap hal-hal yang kurang baik disebabkan oleh perbuatan sendiri semasa hidup yang lampau dan sekarang. Yang tergolong dalam upacara ini adalah upacara peringatan hari lahir (otonan), meningkat dewasa, potong gigi, dan perkawinan. Artinya, upacara manusa yadnya yang dilaksanakan dalam masyarakat Hindu di Bali dimaksudkan sebagai peringatan terhadap masa-masa peralihan dalam perkembangan kehidupan manusia. Masa-masa peralihan ini secara psikologis merupakan masa transisi yang bersifat kritis sehingga memiliki kecenderungan mengalihkan arah perkembangan kehidupan ke arah yang kontra produktif.
 Berdasarkan tahapan kehidupan manusia Hindu dalam hubunganya dengan upacara manusa yadnya maka dapat dipahami bahwa kehidupan manusia berkembang ke arah yang semakin sempurna. Mengingat hal ini tidak jauh berbeda dengan hakikat dari penyelenggaraan pendidikan nasional seperti telah diuraikan di atas maka dapat dikatakan bahwa catur asrama adalah model dan sistem pendidikan Hindu. Dalam hal ini, catur asrama menawarkan model dan sistem pendidikan Hindu sebagai konsepsi pendidikan sepanjang hayat. Untuk itu catur asrama tidak dapat dilepaskan dari catur purusa artha, yang adalah tujuan kehidupan menurut Hindu, yaitu dharma (kebajikan), artha (harta), kama (keinginan), dan moksa (kebahagiaan).
Catur asrama sebagai model dan sistem pendidikan Hindu atau konsepsi pendidikan sepanjang hayat dapat disajikan seperti berikut.
1)      Brahmacari
Brahmacari menurut Sudharta (2001:49) ialah tingkatan hidup manusia pada waktu sedang mengejar ilmu pengetahuan atau ilmu ketuhanan. Brahma berarti ilmu pengetahuan atau ilmu ketuhanan; dan cara artinya tingkah laku dalam mengejar. Masa belajar menurut sistem pendidikan nasional dijelaskan bahwa masa belajar pada jenjang pendidikan dasar adalah selama 9 tahun, yaitu terdiri atas 6 tahun di Sekolah Dasar dan 3 tahun di Sekolah Menegah Pertama; selama 3 tahun pada jenjang pendidikan menengah; dan selama 4 tahun pada tingkat pendidikan tinggi. Jadi, masa belajar sampai menamatkan pendidikan tinggi adalah selama 16 tahun. Apabila usia awal memasuki pendidikan di sekolah dasar mulai dari usia 7 tahun maka masa belajar seluruhnya menjadi 23 tahun. Dengan pertimbangan ini (dengan mengabaikan masa pendidikan pranatal dan pendidikan prasekolah) maka masa brahmacari dapat ditentukan lebih kurang sampai pada 25 tahun.
 Masa ini merupakan masa untuk mengembangkan dan membangun diri, yaitu membentuk identitas dan jati diri. Oleh karena itu kehidupan manusia pada masa ini diwarnai oleh ativitas dan kreativitas belajar dan belajar sebagai upaya untuk membangun landasan kehidupan yang kuat. Landasan ini berupa keseimbangan kehidupan antara pisik dan psikis, yaitu kematangan dan kewasaan. Landasan ini dapat disebut dengan dharma (kebajikan). Untuk membangun landasan yang utuh dan kukuh diperlukan ilmu-ilmu gelar urip atau guna vidya. Bila tiga kerangka agama Hindu, yaitu tattwa, susila, dan acara dapat dimaknai sebagai standar kompetensi dan tiga ranah esensi pendidikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor maka isi kurikulum pendidikan sebagai standar kompetensi masa brahmacari dapat ditawarkan dalam rumusan sebagai berikut.
2)       Grehastha
Grehastha menurut Sudharta (2001:49) adalah tingkat kehidupan pada waktu membina rumah tangga, yaitu dengan kawin atau melahirkan keturunan. Grha berarti rumah atau rumah tangga, dan astha artinya berdiri atau mendirikan, membina. Dengan mengandaikan bahwa masa brahmacari adalah usia 0 – 25 tahun maka awal masa grehastha adalah mulai dari usia 25 tahun; dengan mengandaikan bahwa seorang pegawai menjalankan masa pensiun setelah mencapai usia 60 tahun maka dapat ditentukan bahwa akhir masa grehastha adalah 60 tahun; dengan demikian maka masa grehastha adalah dari usia 25 sampai pada usia 60 tahun.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa masa ini merupakan masa yang penuh dengan aktivitas dan kreativitas (kehidupan) dalam berbagai dimensi dan skalanya. Oleh karena itu pada masa ini perlu ditekankan penanaman tentang pengertian dan pemahaman tentang tata kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan wawasan lingkungan. Mengingat dalam lingkungan tersebut eksistensi manusia mulai diperjuangkan, baik melalui kewajiban maupun pengabdian hidup. Untuk membangun kehidupan grehasta seperti itu maka diperlukan pendidikan yang berlandaskan pada ilmu-ilmu gelar urip atau guna vidya berdasarkan pada dharma (kewajiban). Dalam hal ini dapat ditawarkan rumusan isi kurikulum pendidikan sebagai standar kompetensi masa grehasta seperti berikut.
3)      Wanaprastha
Wanaprastha menurut Sudharta (2001:49) ialah tingkat hidup persiapan untuk lebih meningkatkan hidup kerohanian dan perlahan-lahan membebaskan diri dari ikatan keduniawian. Ia tetap mengabdi kepada masyarakat hanya tidak demikian melibatkan diri sebagai pada waktu di tingkat grshasta. Memang kalau menurut istilah “wanaprastha” berarti hidup mengasingkan diri di hutan, tetapi yang dimaksudkan ialah untuk mendapatkan suasana jiwa yang tidak dipengaruhi oleh gangguan keperluan hidup sehari-hari yang bersifat duniawi sehingga dapat memberikan tuntunan secara bebas kepada mereka yang sedang aktif dalam tingkat grehastha.
Dengan mengandaikan bahwa akhir masa grehastha pada usia 60 tahun maka dapat ditentukan bahwa awal masa wanaprastha adalah pada usia 60 tahun. Mengingat tingkat kematangan dan kedewasaan manusia dalam ajaran kesucian tidak dapat ditentukan secara gradual maka kapan berakhirnya masa wanaprastha, juga tidak dapat ditentukan dengan pasti. Di samping itu ajaran kesucian berkaitan erat, baik dengan etika-moralitas maupun ajaran ketuhanan yang merupakan ajaran tanpa batas maka akhir masa wanaprastha, juga tidak dapat ditentukan. Ini juga berarti bahwa awal dan akhir masa sanyasin atau bhiksuka tidak dapat ditentukan, karena itu maka mengenai batasan usia pada masa ini tidak dibahas dalam kajian ini. Oleh karena itu pada masa ini sudah diperlukan ilmu-ilmu gelar pati dan atau apara vidya. Dalam hal ini dharma dimaknai sebagai kebenaran.
4)      Bhiksuka
 Bhiksuka (sannyasin) menurut Sudharta (2001:49) ialah tingkat kehidupan yang lepas dari ikatan keduaniawian dan hanya mengabdikan diri kepada Sang Hyang Widhi dengan jalan menyebarkan ajaran-ajaran kesucian. Arti kata “bhiksuka” ialah peminta-peminta, tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia tidak boleh mempunyai apa-apa dalam pengabdiannya pada Sang Hyang Widhi dan untuk makanannyapun ditanggung oleh murid-murid atau pengikutnya atau umat sendiri. Selanjutnya, kata “sannyasin” artinya meniggalkan keduniawian dan hanya mengabdi kepada Sang Hyang Widhi dengan memperluas ajaran-ajaran kesucian (nisparigraha). Berdasarkan pengertian tersebut maka pada masa tahapan ini yang diperlukan hanya ilmu-ilmu tentang gelar pati dan atau apara vidya, brahmavidya. Oleh karena itu dapat ditawarkan rumusan isi kurikulum pendidikan sebagai standar kopetensi pada masa bhiksuka sebagai berikut.

2.1  Implementasi Ajaran Catur Asrama Dalam Pendidikan Jaman Sekarang
Hubungan tata kemasyarakatan Hindu dibagi menjadi empat tingkat kehidupan yang dikenal dengan Catur Asrama. Catur Asrama adalah empat lapangan atau tingkatan hidup manusia atas dasar keharmonisan hidup. Tiap- tiap tingkat kehidupan manusia diwarnai oleh adanya ciri- ciri tugas kewajiban yang berbeda antara satu masa (asrama) dengan masa lainnya, tetapi merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sebagai contoh adanya perbedaan sifat tugas dan kewajiban seorang bapak dengan ibu dengan anak- anaknya.
Menurut agama Hindu pembagian tingkat kehidupan manusia sesuai dengan sistem Catur Asrama, ialah sebagai berikut:
  1. Brahmacari Asrama adalah tingkat kehidupan berguru/ menuntut ilmu. Setiap orang harus belajar (berguru). Diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dengan pemberian Samawartana/ Ijazah. Dalam kegiatan belajar mengajar ini siswa/ Snataka harus mengikuti segala peraturan yang telah ditetapkan bahkan kebiasaan untuk mengasramakan siswa sangat penting guna memperoleh ketenangan belajar serta mempermudah pengawasan. Brahmacari juga mengandung makna yaitu orang yang tidak terikat/ dapat mengendalikan nafsu keduniawian, terutama nafsu seksual. Segala tenaga dan pikirannya benar- benar diarahkan kepada kemantapan belajar, serta upaya pengembangan ketrampilan sebagai bekal hidupnya kelak. Dalam kehidupan sekarang, seorang brahmacari boleh mengikuti fase grahasta asrama(membina rumah tangga), hal ini disebabkan karna adanya konsep yaitu belajar seumur hidup, dimana belajar seumur hidup mutlak dilakukan kapan saja dan tidak memandang umur. Menurut pandangan agama hindu catur asrama merupakan suatu pedoman hidup untuk menompang suatu kehidupan, gunanya tidak lain adalah untuk memantapkan fase-fase yang telah dibagi diatas.
  2. Grehasta Asrama adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya). Oleh karena itu penggunaan Artha dan Kama sangat penting artinya dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis dan manusiawi berdasarkan Dharma.
  3. Wanaprastha Asrama adalah tingkat kehidupan ketiga dengan menjauhkan diri dari nafsu- nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/ moksa dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.
  4. Sanyasin (bhiksuka) Asrama adalah merupakan tingkat kehidupan di mana pengaruh dunia sama sekali lepas. Yang diabdikan adalah nilai- nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada masa ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa untuk mencapai Moksa.
III.             Penutup
Sebagai pedoman tatanan hidup masyarakat Hindu, Catur Asrama memegang peranan sangat penting yaitu mengatur segala tingkah laku dari keempat jenjang kehidupan dan menunjukkan tugas serta kewajiban yang harus dilaksanakan dalam masing-masing jenjang atau tingkat kehidupan umat manusia. Dan apabila manusia tersebut dapat menjalankan keempat masa itu dengan baik maka akan mewujudkan keharmonisan antar umat manusia, kebahagiaan, kedamaian dan ketentraman hidup serta tujuan terakhir dari pada umat Hindu yaitu moksa akan tercapai atas asungkertawaranugraha Ida Sang hyang Widhi Wasa. Implementasi ajaran catura asrama dalam pendidikan jaman sekarang tidak relevan atau tidak monetun karena pendidikan tidak memandang usia untuk mencari ilmu pengetahuan.






DAFTAR PUSTAKA

Gandhi, M.K., 1981, Kehidupan Ashram: dari hari ke hari, Yaysan Bali Santi Sena.

Kasturi. N. 1981. Sathyam Siwam Sundaram. Jakarta: Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia.
Pidarta, Made. 2000. Hindu Untuk Masyarakat Umum, Surabaya: Paramita Surabaya

Panitya Tujuh Belas. 1986. Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu dalam masa Pembangunan. Jakarta: Yayasan Merta Sari.

O’nil, 2003, Ideologi-ideologi Pendidikan, Jakarta: Gramedia.

Sudharta, Tjok Rai, Ida Bagus Oka Punia Atmaja. 2001. Upadesa tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Takwin, Bagus, 2003, Filsafat Timur Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta :Jalasutra.


Tidak ada komentar: