Selasa, 10 Desember 2013

implementasi ajaran catur asrama bag. 2

PERANAN CATUR ASRAMA DALAM MENINGKATKAN KWALITAS
PENDIDIKAN


Abstrak
Pendidikan Agama Hindu sekadar membentuk manusia terampil dalam melakukan pekerjaan tertentu, tetapi juga membina dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan agar menjadi manusia yang matanag dan dewasa, yaitu manusiawi. Maksudnya adalah manusia yang bertaqwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan berbudi luhur, bernalar dan cerdas, mampu berkomunikasi sosial dan global, sehat dan mandiri. Untuk itu pendidikan memiliki tanggung jawab atas terciptanya suasana belajar dan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan segenap kompetensi peserta didik, agar berguna untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk itu catur asrama dapat ditawarkan sebagai model sistem pendidikan (Hindu) sepanjang hayat.

I. Pendahuluan
Hidup harmonis seperti aman, damai, sejuk, sejahtera dan sejenisnya merupakan dambaan setiap orang yang normal di dunia ini. Membangun kehidupan bersama yang harmonis, dinamis dan produktif di bumi ini memang membutuhkan landasan filosofi yang benar, tepat, akurat dan kuat. Dalam suatu kehidupan bersama dengan segala bentuknya minimal membutuhkan adanya tiga hal yaitu kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan. Suatu kebersamaan tanpa adanya kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan maka kebersamaan itu tidak akan langgeng dan tidak produktif menghasilkan nilai-nilai spiritual dan nilai material.
Pendidikan umumnya dipahami sebagai suatu kegiatan mulia yang selalu mengandung kebajikan dan senantiasa berwatak netral. Akan tetapi, para praktisi pendidikan di lembaga pendidikan ataupun sekolah formal banyak yang tidak sadar bahwa mereka tengah terlibat dalam suatu pergumulan politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Pendidikan bagaikan sepotong ranting rapuh terombang-ambing mengapung di atas samudera kebudayaan yang mahaluas. Kadang-kadang ditarik oleh gelombang idiologi dibawa ke tengah samudera dan kembali lagi didorong ke luar menuju pantai harapan bersama gulungan-gulungan ombak kepentingan yang memang tidak pernah surut dari masa ke masa. Ambivalensi dan ambigusitas menjadi karakternya sehingga eguana pendidikan hidup dalam beraneka warna aliran, paham, idiologi, bahkan kepentingan. Oleh karena itu Fakih (dalam O’neil, 2002) memberikan pemetaan aliran paradigma pendidikan yang digunakan oleh Henry Giroux and Aronowitz (1985) yang membagi ideologi pendidikan menjadi tiga aliran, yaitu konservative, liberal, dan kritis.
Pertama, paradigma konservative memandang bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari, dan sudah merupakan ketentuan sejarah, bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah hal yang harus diperjuangkan karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik paradigma konservative dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial. Menurutnya hanya Tuhan-lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna di balik itu semua. Artinya, kaum konservative klasik menganggap masyarakat tidak memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Jadi, pendidikan hanya menjadi hamba kekuasaan.
Kedua, paradigma liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat, terutama persoalan politik dan ekonomi, tetapi pendidikan tidak ada kaitannya dengan persolan tersebut. Artinya, tugas pendidikan tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Walaupun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan politik dan ekonomi di luar dunia pendidikan, yaitu dengan jalan memecahkan masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi ‘kosmetik’. Umumnya yang dilakukan seperti perlunya membangun ruang belajar dan fasilitas baru, laboratorium dengan peralatan dan perlengkapan yang canggih, dan berbagai usaha untuk menyehatkan rasio guru-murid. Akar dari pendidikan ini adalah liberalisme, yaitu suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan melindungi hak, kebebasan, dan mengidentifikasi problem, serta upaya perubahan sosial secara instrumental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Model tipe ideal mereka adalah manusia “rationalis liberal”, seperti bahwa manusia memiliki potensi sama dalam intelektual; baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal; dan individualis yang menganggap bahwa manusia adalah atomistik dan otonom.
Ketiga, paradigma kritis memandang bahwa pendidikan merupakan arena perjuangan politik. Paradigma ini menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada. Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Dalam perspektif ini, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi terhadap ‘the dominant ideology’ ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekontruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Dalam hal ini pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa bagi paradigma konservative pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sedangkan bagi paradigma liberal pendidikan bertujuan untuk perubahan moderat, tetapi paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik dan ekonomi masyarakat. Walaupun demikian, pada hakikatnya pendidikan yang diperlukan manusia adalah pendidikan yang dapat mengantarkan manusia menjadi lebih manusiawi. Seperti banyak dijelaskan dalam filsafat pendidikan bahwa pendidikan pada hakikatnya memberikan wawasan agar manusia mengerti dan memahami dirinya sebagai manusia yang berkesadaran, bermoral, dan berkemanusiaan. Dengan demikian manusia dapat menjadi dirinya, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain dan lingkungannya sehingga mampu hidup berdampingan secara harmonis dengan sesamanya, bahkan dengan segala makhluk. Inilah yang disebut manusia matang dan dewasa yang mampu bertanggung jawab, baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap orang lain dan lingkungannya. Seperti dinyatakan dalam tujuan pendidikan nasional agar peserta didik menjadi manusia mandiri dalam mewujudkan masyarakat madani. Inilah hakikat tujuan pendidikan dan bukan sekadar hanya menciptakan manusia pekerja bagi pengembangan industri dan memperkuat kapitalisme serta membangun mental borjuis. Oleh karena itu dalam Hindu diajarkan catur asrama sebagai tahapan perkembangan kehidupan dan catur purusa artha sebagai tujuan kehidupan manusia.
Keterpaduan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan dapat diamati dari sistem sosial kemasyarakatan orang Bali dan tujuan hidupnya. Seperti ditegaskan oleh Takwin (2003) bahwa kebudayaan dan agama Hindu di Bali tampak begitu menyatu dalam kehidupan masyarakat sebagai adat istiadat atau tradisi sehingga tidak mudah membedakan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan. Dalam hal ini tampak dalam jalinan antara catur asrama sebagai tahapan kehidupan dan tri hita karana sebagai landasan sistem sosial kemasyarakatan serta tujuan hidup yang berdasarkan pada catur purusa artha. Pada kenyataan dalam pengalaman empiris kehidupan masyarakat Hindu di Bali telah terwujud keselarasan antara harmoni catur asrama dan tri hita karana dengan realisasi catur purusa artha, baik dalam pikiran dan perkataan maupun tindakan. Keharmonisan ini tampak mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari sebagai yadnya.
Dengan demikian pada prinsipnya terdapat keselarasan antara hakikat tujuan pendidikan nasional dan ajaran catur asrama. Akan tetapi, masyarakat Hindu dan khususnya masyarakat Hindu di Bali belum memahami jalinan dan keselarasan tersebut sehingga cenderung diabaikan. Oleh karena itu menarik untuk didiskusikan, bagaimanakah model pendidikan Hindu menurut catur asrama? Dan bagaimanakah implementasinya dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali? Akan tetapi, dengan pertimbangan keterbatasan yang ada maka kajian ini hanya akan mendiskusikan persoalan yang pertama saja, sedangkanpersoalan yang kedua disisakan bagi peneliti lain.

II. Pembahasan
1. Catur Asrama Konsep Hubungan Antar Generasi
Hubungan harmonis dalam kebersamaan itu bisa dibangun apa bila dalam kebersamaan itu terdiri dari unsur-unsur yang berbeda, tetapi perbedaan itu adalah perbedaan yang komplementatif. Artinya perbedaan yang dapat membangun hubungan harmonis dinamis dan sinergis adalah perbedaan yang saling lengkap melengkapi. Keharmonisan hidup bersama sebagai unsur yang diisyaratkan dalam ajaran Tri Hita Karana dap[at diwujudkan dalam dua bentuk yaitu keharmonisan yang bersifat vertikal dan horizontal. Keharmonisan hubungan vertikal itu adalah keharmonisan hubungan antar generasi. Sedangkan keharmonisan hubungan horizontal adalah keharmonisan hubungan antara golongan dalam masyarakat yang setara, bersaudara dan merdeka.
Keharmonisan hubungan yang vertikal itu adalah keharmonisan yang dibangun antar generasi. Catur Asrama adalah kosep hindu yang menjadi dasar hubungan antar generasi. Catur asrama sebagai tahapan hidup untuk mensukseskan empat tujuan hidup secara bertahap pula. Ada generasi Brahmacari asrama, ada generasi Grhastha asrama, ada generasi Wanaprastha asarama, dan ada Generasi Sanyasin asrama. Masing- masing Asrama memiliki Swadharma yang berbeda-beda dalam menyukseskan empat tujuan tersebut. Perbnedaan Swadharma inilah yang menjadi dasar hubungan yang saling lengkap melengkapi antar satu asrama dengan yang lainnya. Brahmacari asrama tidak akan sukses tanpa Grahasta asrama. Demikian juga sebaliknya Grahasta asrama dianggap gagal kalo Brahmacari asrama yang dibinanya gagal mewujudkan Swadarmannya sebagai Brahmacari. Karena Grahastha asrama Swadarmanyautamanya melahirkan, memelihahara dan mendidik Brahmacari yang menjadi tanggung jawabnya. (Wiana, I Ketut : 2007 : 133-134)
2. Catur Asrama sebagai Konsep Hidup
Untuk mewujudkan cita-cita Hindu Dharma mencapai Jagathita dan moksha, maka setia umat hindu diajarkan untuk mencapai empat tujuan hidup. Emapt Tujuan hidup itu disebut Catur Purusartha yaitu Dharma, Artha, Kama, dan Moksha.
Empat tujuan hidup ini hanya dapat dicapai melalui tahapan-tahapan hidup sesuai dengan pertumbuhan manusia itu sendiri. Tahapan-tahapan itu disebut Catur Asrama ini adalah konsepsi dasar untuk mencapai empat tujuan hidup itu. Sebagai konsepsi hidup, catur Asrama juga menjadi landasan konsepsional penerapan Hindu Dharma. Karena penerapan hindu Dharma pertujuan untuk mewujudkan tujuan hidup manusia pula.
Catur Asrama berasal dari kata Catur yang artinya empat dan Asrama yang berarti “Usaha seseorang”. Yang dimaksud dengan usaha seseorang dalam pengertian Carur Asrama adalah Usaha yang Mutlak harus dilakukan oleh seseorang pada tiap-tiap Asrama. Bentuk dan jenis usaha hidup yang harus dilakukan pada masing-masing Asrama sangat berbeda-beda sesuai dengan unsur Catur Purusharta yang ingin dicapai pada tiap-tiap Asrama. Tiap-tiap Catur Purusartha wajib diwujudkan pada tahapan-tahapan Asrama. Karena itu penerapan Hindu dharma hasrus menunjang terwujudnya tiap-tiap unsur dari catur Purusartha pada tahapan-tahapan catur Asrma itu.(Wiana, I Ketut : 1997 : 53) Catur Asrama itu ialah :
a. Brahmacari Asrama
adalah tingkat kehidupan berguru/ menuntut ilmu. Setiap orang harus belajar (berguru). Diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dengan pemberian Samawartana/ Ijazah. Dalam kegiatan belajar mengajar ini siswa/ Snataka harus mengikuti segala peraturan yang telah ditetapkan bahkan kebiasaan untuk mengasramakan siswa sangat penting guna memperoleh ketenangan belajar serta mempermudah pengawasan. Brahmacari juga mengandung makna yaitu orang yang tidak terikat/ dapat mengendalikan nafsu keduniawian, terutama nafsu seksual. Segala tenaga dan pikirannya benar- benar diarahkan kepada kemantapan belajar, serta upaya pengembangan ketrampilan sebagai bekal hidupnya kelak. (Wiana, I Ketut : 1997 :54) Brahmacari Asrama yaitu Suatu masa kehidupan berguru untuk mendapatkan Ilmu Paengetahuan lainnya.
b. Grehasta Asrama
adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya). Oleh karena itu penggunaan Artha dan Kama sangat penting artinya dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis dan manusiawi berdasarkan Dharma.(Wiana, I Ketut : 1997 :56), Grahasta Asrama artinya hidup berunmah tangga, bersuami istri.

c. Wanaprastha Asrama
adalah tingkat kehidupan ketiga dengan menjauhkan diri dari nafsu- nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/ moksa dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.(Wiana, I Ketut : 1997 :57), da
d. Sanyasin (bhiksuka) Asrama
adalah merupakan tingkat kehidupan di mana pengaruh dunia sama sekali lepas. Yang diabdikan adalah nilai- nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada masa ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa untuk mencapai Moksa.
3. Catur Asrama dalam Sistem Pendidikan Hindu
Asrama menurut Gandhi (1981) berarti suatu kehidupan bermasyarakat dari orang-orang beragama. Menurut agama Hindu bahwa kehidupan manusia dilalui dalam empat tahapan yang disebut catur asrama, yaitu brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Menurut Panitya Tujuh Belas (1986:135) bahwa catur asrama berarti empat tahapan masa kehidupan manusia. Empat tahapan masa kehidupan manusia, yaitu brahmacari adalah masa belajar; grehasta adalah masa pembinaan keluarga dan bermasyarakat; wanaprasta adalah masa perjuangan hidup yang ditujukan pada pengendalian diri, mendalami kitab suci, dan mengusahakan dharma; sedangkan sanyasa atau bhiksuka adalah masa kehidupan rohaniah dan seluruh kehidupan ditujukan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Tahapan-tahapan perkembangan kehidupan manusia dalam masyarakat Hindu di Bali ditandai dengan melaksanakan upacara keagamaan. Upacara keagamaan untuk menyucikan kehidupan manusia disebut manusa yadnya, salah satu dari jenis panca yadnya. Upacara ini dilaksanakan sejak janin dalam kandungan hingga lahir dan melangsungkan perkawinan setelah dewasa. Menurut Putra (1998:33) bahwa manusa yajna merupakan pendidikan, pemeliharaan, dan penyucian secara spiritual terhadap seorang anak sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Artinya, proses pendidikan tidak hanya berlangsung setelah anak itu lahir, tetapi telah berlangsung dan dapat diberikan sejak anak masih dalam kandungan sebagai pendidikan pranatal. Seperti ditegaskan oleh Sudharta (1993:2), bahkan pembentukan watak itu sudah dimulai ketika ibu bapak mengadakan senggama yang harus dilakukan dengan tujuan mendapat anak yang baik. Putra (1998:35) menjelaskan bahwa upacara-upacara dalam manusa yajna dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama upacara penyucian terhadap hal-hal yang kurang baik yang disebabkan oleh kedua orang tua. Yang tergolong dalam upacara ini adalah upacara di dalam kandungan, kelahiran, pemberian nama, gelang, dan perhiasan lainnya sampai pada upacara penggungtingan rambut pertama. Kedua, upacara penyucian terhadap hal-hal yang kurang baik disebabkan oleh perbuatan sendiri semasa hidup yang lampau dan sekarang. Yang tergolong dalam upacara ini adalah upacara peringatan hari lahir (otonan), meningkat dewasa, potong gigi, dan perkawinan. Artinya, upacara manusa yadnya yang dilaksanakan dalam masyarakat Hindu di Bali dimaksudkan sebagai peringatan terhadap masa-masa peralihan dalam perkembangan kehidupan manusia. Masa-masa peralihan ini secara psikologis merupakan masa transisi yang bersifat kritis sehingga memiliki kecenderungan mengalihkan arah perkembangan kehidupan ke arah yang kontra produktif.
Berdasarkan tahapan kehidupan manusia Hindu dalam hubunganya dengan upacara manusa yadnya maka dapat dipahami bahwa kehidupan manusia berkembang ke arah yang semakin sempurna. Mengingat hal ini tidak jauh berbeda dengan hakikat dari penyelenggaraan pendidikan nasional seperti telah diuraikan di atas maka dapat dikatakan bahwa catur asrama adalah model dan sistem pendidikan Hindu. Dalam hal ini, catur asrama menawarkan model dan sistem pendidikan Hindu sebagai konsepsi pendidikan sepanjang hayat. Untuk itu catur asrama tidak dapat dilepaskan dari catur purusa artha, yang adalah tujuan kehidupan menurut Hindu, yaitu dharma (kebajikan), artha (harta), kama (keinginan), dan moksa (kebahagiaan).

III.Penutup
Catur asrama merupakan empat tingkatan kehidupan atas dasar keharmonisan hidup dalam ajaran Hindu. Setiap tingkatan kehidupan manusia di bedakan bredasarkan atas tugas dan kewajiban manusia dalam menjalani kehidupannya, namun terikat dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sebagai contoh perbedaan kewajiban antara orang tua dan anak.Proses pendidikan didalam agama Hindu, berdasarkan atas konsepsi ajaran “Catur Asrama” Catur Asrama adalah empat lapangan hidup berdasarkan petunjuk kerohanian yang pertama disebut dengan Brahmacari Asrama, Masa menuntut ilmu yang direalisasikan dalam pendidikan di keluarga dan sekolah-sekolah formal maupun informal. Proses pendidikan tahapan yang kedua adalah Grhastha Asrama adalah hidup berumah tangga. Proses tahapan yang ketiga adalah Vanaprastha Asrama yaitu suatu masa sewaktu orang mulai meninggalkan kegiatan keduniawiaan dengan mengasingkan diri. Realitasnya kini adalah masa purnabhakti atau purna tugas (pensiun) dari tugas sehari-hari untuk memasuki kehidupan rohani (spiritual) sedangkan tahap atau lapangan hidup yang terakhir adalah Sanyasin atau Bhiksuka yaitu suatu lapangan hidup saat seseorang bener-bener telah dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi dan sepenuhnya hidup untuk mengamalkan dan menyebarkan ajaran dharma utamanya membulatkan diri untuk terjun sepenuhnya dalam kegiatan rohani.
Keharmonisan hubungan yang vertikal itu adalah keharmonisan yang dibangun antar generasi. Catur Asrama adalah kosep hindu yang menjadi dasar hubungan antar generasi. Catur asrama sebagai tahapan hidup untuk mensukseskan empat tujuan hidup secara bertahap pula. Ada generasi Brahmacari asrama, ada generasi Grhastha asrama, ada generasi Wanaprastha asarama, dan ada Generasi Sanyasin asrama. Masing- masing Asrama memiliki Swadharma yang berbeda-beda dalam menyukseskan empat tujuan tersebut. Perbnedaan Swadharma inilah yang menjadi dasar hubungan yang saling lengkap melengkapi antar satu asrama dengan yang lainnya. Brahmacari asrama tidak akan sukses tanpa Grahasta asrama. Demikian juga sebaliknya Grahasta asrama dianggap gagal kalo Brahmacari asrama yang dibinanya gagal mewujudkan Swadarmannya sebagai Brahmacari. Karena Grahastha asrama Swadarmanyautamanya melahirkan, memelihahara dan mendidik Brahmacari yang menjadi tanggung jawabnya












DAFTAR PUSTAKA

Wiana, I Ketut. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Paramita: Surabaya.
Winawan, I Wayan Winda. Materi Substansi Kajian Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Hindu. Dosen Agama Hindu Universitas Trisakti: Jakarta
Wiana, I Ketut. 1997. Cara Belajar Agama Hindu yang Baik. Yayasan Dharma Naradha: Denpasar.
Titib, I Made. 2006. Menumbuhkembangkan Pendididikan Budhi Pekerti Pada Anak ( Perspektif Agama Hindu). Pustaka Bali Post: Denpasar
www.google.com

Tidak ada komentar: