Rabu, 07 November 2012

HAKEKAT AJARAN MIMAMSA


BAB I
PENDAHULUAN

Darsana menduduki posisi yang penting dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran Agama Hindu. Karena pada hakekatnya semua ajaran Hindu bernafaskan Weda. Disamping itu ajaran yang dikemukakan dalam Darsana diuraikan secara filosofis sehingga dengan demikian ajarannya bersifat rasional spiritual dalam artian dapat diterimaoleh akal sehat tetapi tetap dalam ruang lingkup agama ( Sumawa dan Krisnu, 1995 : 1 )
Sebagai salah satu cabang terpenting dalam ilmu agama Hindu, kalau tidak mau dikatakan amat penting, maka Darsana atau ilmu filsafat atau Tattwa perlu dipakai sebagai materi ajar atau bahan ajar didalam memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Hindu yang bersumber dari Weda sebagai kitab suci agama Hindu.
Kita mengaku bahwa Tattwa, Susila, dan Upacara, secara tradisional merupakan bahan ajar agama Hindu. Tiga aspek materi ajar ini perlu dikembangkan untuk mencapai tujuan hidup menurut ajaran agama Hindu. Dalam kitab Arthasastra karya Kautilya menyebutkan adanya Catur Widya untuk mencapai tujuan hidup manusia, yakni Weda atau Anwisaki atau Darsanam, Warta atau Ekonomi dan Dandaniti atau Politik.
Dalam mengungkap pentingnya arti Darsana atau Anwisaki sebagai cabang ilmu, Kautilya atau Wisnu Gupta mengemukakan di dalam kitab Arthasastra bahwa dengan menguasai dan mendalami Anwisaki atau Darsanan itu maka orang itu tidak akan mudah terombang-ambing dalam menghadapi berbagai masalah dalam mengarungi lautan kehidupan ini ( Ibid, 1981 : iii ).



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pendiri dan Sumber Ajarannya
Sembah sujud kepada Sri Jaimini, pendiri sistem filsafat Purwa Mimamsa, murid dari Bhagawan Sri Wyasa. Purwa Wiwamsa atau Karma Mimamsa adalah penyelidikan ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Weda. Suatu pencarian ke dalam ritual-ritual Weda atau bagian weda yang hanya berurusan dengan masalah mantra dan Brahmana saja. Purwa wimamsa disebut demikian karena ia lebih awal (purwa) dari pada Uttara Mimamsa, dalam pengertian logika, yang tidak demikian banyak dalam pengertian kronologis. Filsafat Mimamsa yang akan dibahas adalah Purwa Mimamsa Yang umum disebut dengan Mimamsa saja.
Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain(Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang popular yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma Mimamsa sedangkan Uttara Mimamsa sering disebut dengan Jnana Mimamsa. Sumber utama adalah keyakinan akan kebenaran dan kemutlakan upacara d dalam kitab Veda (Brahmana dan Kalpasutra). Sumber ajaran tertulis dalam jaiminisutra, karya Maharesi Jaimini. Kitab ini terdiri dari 12 Adhyaya (bab) terbagi kedalam 60 'pada' atau bagian. Isinya adalah aturan atau tata cara dalam Weda ( menurut Weda ). Komentar tertua terhadap kitab Jaimisutra dikemukakan oleh Sabara Swanin, selanjutnya oleh dua orangtokoh yang berbeda pandangan, yakni Kumarila Bhatta dan Prabhakara, yang mengembangkannya kemudian.
2.2. Sifat dan Pokok – Pokok Ajaran Mimamsa
Ajaran ( Purwa ) Mimamsa disebut bersifat pluralistis dan realistis. Pluralis karena mengakui adanya banyak Jiwa dan penggandaan asas badani yang membenahi alam semesta, sedang realistis karena mengakui bahwa obyek-obyek pangamatan adalah nyata. Bagi Mimamsa alat pengetahuan yang terpenting adalah kesaksian (kebenaran) Veda. Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan terakhir umat manusia adalah Moksa, jalan untuk mencapai adalah dengan melaksanakan upacara keagamaan seperti tersebut dalam Veda.
Sebagai telah disebutkan diatas sumber pokok ajaran Mimamsa adalah Veda terutama bagian Brahmana dan Kalpasutra. Baginya kitab Veda adalah Dharma. Tata cara serta perintah-perintah tentang upacara yang terdapat didalam Veda hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Serta tidak mengharapkan hasil karena melaksanakannya semuanya itu sebagai suatu kewajiban. Kebebasan dalam filsafat ini adalah kebebasan yang terhingga yang terkenal dengan sebutan sorga. Salah satu aliran dalam filsafat Mimamsa yang dipimpin oleh Maharesi Prabhakara yang mengemukakan adanya 5 sumber pengetahuan (Pramana) antara lain :
1) Pratyaksa, yaitu pengamatan atau penglihatan secara langsung.
2) Anumana, yaitu menarik suatu kesimpulan.
3) Upamana, yaitu mengadakan suatu perbandingan.
4) Sabda, yaitu melakukan pembuktian melalui sumber yang dipercaya.
5) Arthapatti, yaitu perumpamaan.
Satu sampai dengan empat adalah sama dengan Pramana pada filsafat Nyaya, hanya ada tambahan terutama didalam Upamana. Dalam filsafat Mimamsa dijelaskan hal ini sebagai berikut : seseorang yang ingin melihat harimau pergi ke hutan, dan dalam hal inii dijelaskan dijelaskan bahwa kucing sebagai perbandingan. Ketika yang bersagkutan tiba dihutan melihat seekor harimau, maka ia seketika itu membandingkannya dengan seekor kucing,kesimpulan ini disebut Upamana. Berbeda dengan pengetahuan yang ditarik dengan / melalui Arthapatti. Dalam Arthapatti penjelasannya bertentangan. Misalnya bila kita melihat seekor ular tidur saja pada siang hari, tidak pernah makan pada waktu siang hari, tetapi ular itu tetap hidup, kesimpulan Arthapati adalah pasti ular tersebut makan pada malam hari. Aliran Mimamsa yang lain diajarkan oleh Maharsi Kumarila Bhatta dengan teori pengethuannya diperoleh melalui 6 pramana. Lima Pramananya sama seperti tersebut diatas (spt.Prabhakara), dengan menambahkan yang ke-6 Anuphalabhi pramana, yakni tidak dapat diamati, karena memang bendanya tidak ada. Cotohnya : Di kamar tidur tidak ada jam tembok, ketiadaan jam tembok itu didalam kamar itu memang tidak dapat diamati. Inilah yang disebut Anupalabhi.
Filsafat Mimamsa lebih jauh menjelaskan bila setiap orang melakukan sedikit saja upacara agama, maka jiwa yang bersangkutan, akan diangkat oleh sesuatu kekuatan yang bernama Apurwa, yang dikemudian hari akan menghasilkan buah yang baik. Perhitungan dari Apurwa Mimamsa ini secara menyeluruh terhadap jiwa hendaknya dilakukan dengan bentuk Upacara yadnya, yang nantinya akan memberikan hasil yang sangat memuaskan. Jadi Apurwa mewujudkan suatu jembatan yang menghubungkan waktu antara sebuah upacara yadnya dengan buahnya. Mula-mula Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan hidup adat Sorga, tetapi kemudian menyesuaikan dengan sistem filsafat yang lain, yaitu Moksa atau kalepasan.

2.3. Mimamsa Sebagai Suatu Sistem Penafsiran Weda
Mimamsa bukanlah cabang dari suatu sistem filsafat. Ia lebih tepatnya merupakan satu sistem penafsiran Weda, di situ diskusi filosofinya sama dengan semacam komentar kritis pada Brahmana atau bagian ritual dari Weda, yang menafsirkan kitab weda dalam pengertian berdasarkan arti sebenarnya masalah utama dari Purwa Mimamsa adalah ritual. Jaimini telah mensistematiskan aturan-aturan dari mimamsa dan menetapkan keabsahannya dalam karyanya itu. Aturan-aturan dari mimamsa sangat penting guna menafsirkan hukum-hukum hindu.
Jaimini menerima 3 pramana tentang pengamatan (pratyaksa), penyimpulan (anumana), dan otoritas pembuktian (sabda atau weda). Jaimini menganggap bahwa satu hubungan yang abadi antara satu kata dengan artinya dan bahwa suara tersebut adalah abadi.


2.4. Keabadian Weda Yang Ada Dengan Sendirinya
Jaimini adalah seorang lawan dari rasionalisme dan theisme. Baginya kitab suci weda secara praktis hanyalah tuhan semata. Weda yang abadi tidak memerlukan dasar apapun untuk sandarannya. Tak ada pewahyu tuhan, karena weda itu sendiri merupakan otoritasnya yang merupakan satu-satunya sumber pengetauan dharma kita. Tuhan tidak diperlukan dalam sistem mereka. Ia mengatakan bahwa weda itu sendiri merupakan otoritasnya. Dharma itu sendiri memberikan ganjaran. Tujuan purwa mimamsa adalah untuk meneyelidiki ke dalam sifat dari dharma.
Purwa mimamsa memiliki sejumlah dewata. Persembahan mungkin diperuntukan baginya. Pelaksaan dharma weda tidak memerlukan suatu keberadaan tertinggi atau Tuhan. Agama weda tidak mencari bantuan Tuhan. Weda abadi yang ada dengan sendirinya, melayani segala keperluan atau Jaimini beserta para pengikut filsafat purwa mimamsa. Jaimini tidak begitu mengingkari adanya tuhan seperti tak menghiraukannya.

2.5. Pelaksaan Dharma Weda sebagai Kunci Menuju Kebahagiaan
Dharma yang di perintahkan oleh kitab suci weda, dikenal sebagai Sruti yang pelaksaanya membawa pada kebahagiaan. Bila kitab smrti tidak setuju dengan sruti, maka yang pertama smrti dapat diabaikan. Pelaksaan oleh orang-orang saleh atau kebiasaan-kebiasaan, muncullah belakangan di dalam smrti. Seorang hindu hendaknya menjalani kehidupannya sesuai dengan aturan-aturan kitab suci weda. Ia harus melaksanakan nitya karma. Ini merupakan kewajiban tanpa syarat, bila ia lalai dalam melakukan hal ini , ia terkena dosa kelalalian (pratyawaya dosa). Ia melaksanakan kamya karma untuk mencapai akhir yang istimewa. Bila ia menghindari perbuatan yang dilarang ( nisiddha karma), ia akan terhindar dari neraka. Bila ia melaksanakan kewajiban tanpa syarat ia mencapai kelepasan.
Beberapa orang pengikut filsafat mimamsa yang kemudian menetapkan bahwa semua pekerjaan seharusnya dilaksanakan sebagai suatu persembahan kepaa tuhan atau mahluk tertinggi. Lalu mereka menjadi penyebab atau cara pembebasan. Bila pekerjaan atau upacara kurban dilakukan dalam suatu cara mekanis tanpa perasaan, sraddha (keyakinan) dan kepatuhan, mereka tak dapat membantu seseorang untuk mencapai kelepasan. Seseorang boleh saja melaksakan sejumlah upacara kurban, namun mungkin tak ada suatu perubahan dalam hati, bila ia dilaksanakan tanpa moral yang benar atau prilaku yang benar serta kemauan yang benar, apa yang sesungguhnya dikehendaki bukanlah upacar kurban, tetapi pengorbanan kepentingan diri sendiri, keakuan dan raga dwesa (suka-benci).

2.6. Ajaran Dari Apurwa
Hasil atau ganjaran dari upacara kurban tidak ditentukan oleh suatu kemanfaatkan Tuhan. Apurwa memberi ganjaran pada si pelaksana kurban. Apurwa merupakan mata rantai atau hubungan yang diperlukan antara kerja dengan hasil atau buahnya. Apurwa adalah adrsta yang merupakan kekuatan yang tak terlihat yang sifatnya positif yang di ciptakan oleh kegiatan yang membawa pencapain buah perbuatan. Inilah pandangan dari Rsi Jaimini.
Para penulis lainnya mengkritik sama sekali bahwa apurwa tanpa kesadaran atau tanpa kecerdasan tak dapat memberikan ganjaran. Sistem filsafat mimamsa tak dapat memuaskan orang-orang bijak dan orang-orang yang cerdas. Karena itu para pengikut filsafat mimamsa yang belakangan secara perlahan-lahan memasukkan masalah tuhan. Mereka menyatakan bahwa bila upacara kurban dilaksanakan untuk menghormati keberadaan tertinggi, ia akan membawa pada pencapaian kebiasaan tertinggi. Apurwa tak dapat berbuat kecuali ira digerakkan oleh tuhan atau keberadaan tertinggi. Yang membuat apurwa  berfungsi adalah Tuhan.



2.7. Sang Diri Dan Ciri – Ciri-Nya
Sang diri berbeda dengan badan, indriya dan intelek. Sang diri merupakan si penikmat atau yang mengalami. Badan merupakan tempat untuk mengalami. Indriya-indriya adalah peralatan-peralatan untuk mengalami. Sang diri merasakan bila ia menyatu dengan pikiran ia mengalami kesenangan dan penderitaan di bagian dalam dan mengalami obyek-obyek luar seperti pepohonan, sungai-sungai, tanam-tanaman dsb. Sang diri bukanlah indriya-indriya, karena ia tetap ada walaupun indriya dihancurkan atau dilukai. Badan tersebut dari materi. Yang meresahkan, berbeda dengan badan dan justru sang diri mengarahkan badan. Badan merupakan pelayan dari sang diri ada beberapa keberadaan yang menirukan berbagai data-data indriya. Keberadaan atau kesatuan tersebut adalah sang diri, yang meresapi segalanya dan tak dapat dihancurkan serta jumlahnya tak terhingga.

2.8. Para Pengikut Filsafat Mimamsa Berikutnya, Prabhakara dan Kumarila
Rsi Jaimini menunjukkan cara untuk mencapai kebahagian di swarga atau surga. Tetapi ia tidak mengatakan apapun tentang masalah pembebasan akhir. Para penulis yang belakangan seperti Prabhakara dan Kumarila, bagaimanapun juga tak dapat menghindari masalah pembebasan akhir ini, karena ia menarik perhatian para pemikir alairan filsafat lainnya. Manusia membuang kegiatan dan perbuatan yang dilarang yang membawanya kepada kebahagiaan di surga. Ia melakukan penebusan dosa yang diperlukan guna melepaskan timbunan karma masa lalunya. Ia melaksakan pengetahuan diri dan mendisiplinkan diri dan mengembangkan sifat-sifat kebajikan. Ia membebaskan dirinya dari kelahiran kembali dengan pengetahuan yang sesungguhnya tentang sang diri. Seseorang tak dapat mencapai kelepasan hanya dengan pengetahuan semata. Pelepasan/pembuangan karma hanya dapat menghasilkan pelepasan. Pengetahuan menghalangi kelanjutan timbunan dari kebajikan dan kejahatan. Dengan karma itu sendiri tak dapat untuk mencapai pembebasan akhir.
Pandangan Kumarila mendekati pandangan dari Adwaita Wedanti yang menetapkan bahwa weda disusun oleh tuhan dan merupakan brahman dalam wujud suara. Moksa adalah suatu keadaan yang positif baginya, yang merupakan realisasi dari atman.

2.9. Filsafat Jaimini Dalam Sebuah Kulit Kacang
Menurut Jaimini, pelaksanaan kegiatan yang di larang dalam kitab suci weda. Merupakan sadhana atau cara pencapain surga. Karma kanda merupakan bagian pokok dari weda. Penyebab belenggu adalah pelaksanaan dari nisiddha krma atau kegiatan yang dilarang. Sang diri adalah jada-cetana gabungan dari tanpa perasaan dan kecerdasan. Roh jumlahnya tak terhingga dan merupakan sipelaku dan si penikmat. Ia meresapi segalanya. Jaimini tidak percaya akan penciptaan alam dunia ini. Ia percaya akan derajat kebahagiaan di surga dan pada sadacara atau perilaku yang benar.

2.10. Kritik Terhadap Filsafat Jaimini
Sistem filsafat Mimamsa dikatakan menjadi tak memuaskan dan tak sempurna karena ia tidak memperlakukan masalah-masalah realitas akhir dan hubungannya dengan roh serta materi. Tak ada pandangan filosofis tentang dunia ini . Gambaran utamanya adalah pelaksanaan upacara kurban. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat mendasar dan utama ‘’laksanakan upacara kurban dan nikmati hasilnya di surga’’ ini merupakan kesimpulan dan isi pokok-pokok dari ajaran Jaimini. Inilah moksanya atau tujuan akhir. Hal ini tidak memberikan kepuasan terhadap para pemikir yang mengetahui bahwa kenikmatan di surga bersifat sementara tidak sempura dan duniawi.



BAB III
PENUTUP

Pūrva Mīmāṁśā atau Karma Mīmāṁśā, adalah penyelidikan ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Veda; suatu pencarian kedalam ritual-ritual Veda atau bagian Veda yang hanya berurusan dengan masalah Mantra dan Brāhmaṇa saja. Disebut Pūrva Mīmāṁśā karena ia lebih awal (pūrva) daripada Uttara Mīmāṁśā (Vedānta), dalam pengertian logika, dan tidak demikian banyak dalam pengertian kronologis.
Bagi Jaimini, kitab suci Veda secara praktis hanyalah Tuhan semata, dan Veda yang abadi tersebut tidak memerlukan dasar apapun untuk sandarannya. Tak ada pewahyu Ilahi, karena Veda itu sendiri merupakan otoritasnya, yang merupakan satu-satunya sumber pengetahuan Dharma kita, dalam sistem Mīmāṁśā tak diperlukan adanya Tuhan. Sūtra pertama dari Mīmāṁśā sūtra berbunyi: “Athato Dharmajijna”. Yang menyatakan keseluruhan tujuan dari sistemnya, yaitu: satu keinginan untuk mengetahui Dharma atau kewajiba, yang terkandung dalam pelaksanaan upacara-upacara dan kurban-kurban yang diuraikan kitab suci Veda. Dharma itu sendiri memberikan ganjarannya, tujuan Pūrva Mīmāṁśā adalah untuk menyelidiki kedalam sifat Dharma.
Filsafat Mimamsa lebih jauh menjelaskan bila setiap orang melakukan sedikit saja upacara agama, maka jiwa yang bersangkutan, akan diangkat oleh sesuatu kekuatan yang bernama Apurwa, yang dikemudian hari akan menghasilkan buah yang baik. Perhitungan dari Apurwa Mimamsa ini secara menyeluruh terhadap jiwa hendaknya dilakukan dengan bentuk Upacara yadnya, yang nantinya akan memberikan hasil yang sangat memuaskan. Jadi Apurwa mewujudkan suatu jembatan yang menghubungkan waktu antara sebuah upacara yadnya dengan buahnya. Mula-mula Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan hidup adat Sorga, tetapi kemudian menyesuaikan dengan sistem filsafat yang lain, yaitu Moksa atau kalepasan.
DAFTAR PUSTAKA

Maswinara, I Wayan. 1999. Sistem Filsafat Hindu ( Sarva Darsana Samgraha ). Surabaya : Paramita
Sivananda, Sri Swami. 1997. Intisari Agama Hindu. Surabaya : Paramita
Tantrayana Gautama. 2011. Pokok-Pokok Ajaran Darsana : Purwa Mimamsa (di unduh di alamat http://artadharma.blogspot.com/2011/12/pokok-pokok-ajaran-darsana-purwa.html )







Tidak ada komentar: